Sabtu, 07 Mei 2011

Validitas dan Reliabilitas

VALIDITAS DAN RELIABILITAS

A. Validitas

1. Pengertian Validitas

Menurut Azwar (1986) Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.

Suatu skala atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila instrumen tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sedangkan tes yang memiliki validitas rendah akan menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran.

Terkandung di sini pengertian bahwa ketepatan validitas pada suatu alat ukur tergantung pada kemampuan alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Suatu tes yang dimaksudkan untuk mengukur variabel A dan kemudian memberikan hasil pengukuran mengenai variabel A, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas tinggi. Suatu tes yang dimaksudkan mengukur variabel A akan tetapi menghasilkan data mengenai variabel A’ atau bahkan B, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas rendah untuk mengukur variabel A dan tinggi validitasnya untuk mengukur variabel A’ atau B (Azwar 1986).

Sisi lain dari pengertian validitas adalah aspek kecermatan pengukuran. Suatu alat ukur yang valid tidak hanya mampu menghasilkan data yang tepat akan tetapi juga harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut.

Cermat berarti bahwa pengukuran itu dapat memberikan gambran mengenai perbedaan yang sekecil-kecilnya mengenai perbedaan yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, dalam bidang pengukuran aspek fisik, bila kita hendak mengetahui berat sebuah cincin emas maka kita harus menggunakan alat penimbang berat emas agar hasil penimbangannya valid, yaitu tepat dan cermat. Sebuah alat penimbang badan memang mengukur berat, akan tetapi tidaklah cukup cermat guna menimbang berat cincin emas karena perbedaan berat yang sangat kecil pada berat emas itu tidak akan terlihat pada alat ukur berat badan.

Menggunakan alat ukur yang dimaksudkan untuk mengukur suatu aspek tertentu akan tetapi tidak dapat memberikan hasil ukur yang cermat dan teliti akan menimbulkan kesalahan atau eror. Alat ukur yang valid akan memiliki tingkat kesalahan yang kecil sehingga angka yang dihasilkannya dapat dipercaya sebagai angka yang sebenarnya atau angka yang mendekati keadaan yang sebenarnya (Azwar 1986).

Pengertian validitas juga sangat erat berkaitan dengan tujuan pengukuran. Oleh karena itu, tidak ada validitas yang berlaku umum untuk semua tujuan pengukuran. Suatu alat ukur biasanya hanya merupakan ukuran yang valid untuk satu tujuan yang spesifik. Dengan demikian, anggapan valid seperti dinyatakan dalam “alat ukur ini valid” adalah kurang lengkap. Pernyataan valid tersebut harus diikuti oleh keterangan yang menunjuk kepada tujuan (yaitu valid untuk mengukur apa), serta valid bagi kelompok subjek yang mana? (Azwar 1986)

Pengertian validitas menurut Walizer (1987) adalah tingkaat kesesuaian antara suatu batasan konseptual yang diberikan dengan bantuan operasional yang telah dikembangkan.

Menurut Aritonang R. (2007) validitas suatu instrumen berkaitan dengan kemampuan instrument itu untuk mengukur atu mengungkap karakteristik dari variabel yang dimaksudkan untuk diukur. Instrumen yang dimaksudkan untuk mengukur sikap konsumen terhadap suatu iklan, misalnya, harus dapat menghasilkan skor sikap yang memang menunjukkan sikap konsumen terhadap iklan tersebut. Jadi, jangan sampai hasil yang diperoleh adalah skor yang menunjukkan minat konsumen terhadap iklan itu.

Validitas suatu instrumen banyak dijelaskan dalam konteks penelitian sosial yang variabelnya tidak dapat diamati secara langsung, seperti sikap, minat, persepsi, motivasi, dan lain sebagainya. Untuk mengukur variabel yang demikian sulit, untuk mengembangkan instrumen yang memiliki validitas yang tinggi karena karakteristik yang akan diukur dari variabel yang demikian tidak dapat diobservasi secara langsung, tetapi hanya melalui indikator (petunjuk tak langsung) tertentu. (Aritonang R. 2007)

Menurut Masri Singarimbun, validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Bila seseorang ingin mengukur berat suatu benda, maka dia harus menggunakan timbangan. Timbangan adalah alat pengukur yang valid bila dipakai untuk mengukur berat, karena timbangan memang mengukur berat. Bila panjang sesuatu benda yang ingin diukur, maka dia harus menggunakan meteran. Meteran adalah alat pengukur yang valid bila digunakan untuk mengukur panjang, karena memang meteran mengukur panjang. Tetapi timbangan bukanlah alat pengukur yang valid bilamana digunakan untuk mengukur panjang.

Sekiranya penelliti menggunakan kuesioner di dalam pengumpulan data penelitian, maka kuesioner yang disusunnya harus mengukur apa yang ingin diukurnya. Setelah kuesioner tersebut tersusun dan teruji validitasnya, dalam praktek belum tentu data yang dikumpulkan adalah data yang valid. Banyak hal-hal lain yang akan mengurangi validitas data; misalnya apakah si pewawancara yang mengumpulkan data betul-betul mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan dalam kuesioner. (Masri Singarimbun)

Menurut Suharsimi Arikunto, validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen bersangkutan yang mampu mengukur apa yang akan diukur.

Menurut Soetarlinah Sukadji, validitas adalah derajat yang menyatakan suatu tes mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas suatu tes tidak begitu saja melekat pada tes itu sendiri, tapi tergantung penggunaan dan subyeknya.


2. Jenis-jenis Validitas

Ebel (dalam Nazirz 1988) membagi validitas menjadi :

• Concurrent Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan kinerja.
• Construct Validity adalah validitas yang berkenaan dengan kualitas aspek psikologis apa yang diukur oleh suatu pengukuran serta terdapat evaluasi bahwa suatu konstruk tertentu dapat menyebabkan kinerja yang baik dalam pengukuran.
• Face Validity adalah validitas yang berhuubungan apa yang nampak dalam mengukur sesuatu dan bukan terhadap apa yang seharusnya hendak diukur.
• Factorial Validity dari sebuah alat ukur adalah korelasi antara alat ukur dengan faktor-faktor yang bersamaan dalam suatu kelompok atau ukuran-ukuran perilaku lainnya, di mana validitas ini diperoleh dengan menggunakan teknik analisis faktor.
• Empirical Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan suatu kriteria. Kriteria tersebut adalah ukuran yang bebas dan langsung dengan apa yang ingin diramalkan oleh pengukuran.
• Intrinsic Validity adalah validitas yang berkenaan dengan penggunaan teknik uji coba untuk memperoleh bukti kuantitatif dan objektif untuk mendukung bhwa suatu alat ukur benar-benar mengukur apa yang seharusny diukur.
• Predictive Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor suatu alat ukur dengan kinerj seorang di msa mendatang.
• Content Validity adalah validitas yang berkenaan dengan baik buruknya sampling dari suatu populasi.
• Curricular Validity adalah validitas yang ditentukan dengan cara menilik isi dari pengukuran dan menilai seberapa jauh pungukuran tersebut merupakan alat ukur yang benar-benar mengukur aspek-aspek sesuai dengan tujuan instruksional.

Sementara itu, Kerlinger (1990) membagi validitas menjadi tiga yaitu:
• Content validity (Validitas isi) adalah validitas yang diperhitungkan melalui pengujian terhadap isi alat ukur dengan analisis rasional. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validitas ini adalah “sejauh mana item-item dalam suatu alat ukur mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur oleh alat ukur yang bersangkutan?” atau berhubungan dengan representasi dari keseluruhan kawasan.

Validitas isi suatu instrumen berkaitan dengan kesesuaian antara karakteristik dari variaabel yang dirumuskan pada definisi konseptual dan operasionalnya. Apabila semua karakteristik variabel yang dirumuskan pada definisi konseptualnya dapat diungkap melalui butir-butir suatu instrument, maka instrument itu dinyatakan memiliki validitas isi yang baik. Sayangnya, hal itu mungkin tidak akan pernah tercapai karena sulitnya untuk mendefinisikan keseluruhan karakteristik itu. Selain itu, dari seluruh karakteristik yang dirumuskan pada definisi konseptual suatu variabel seringkali sulit untuk mengembangkan butir-butir yang valid untuk mengungkap atau mengukurnya.

Validitas isi dapat dianalisis dengan cara memperhatikan penampakan luar dari instrument dan dengan menganalisis kesesuaian butir-butirnya dengan karakteristik yang dirumuskan pada definisi konseptual variabel yang diukur. Validitas yang dianalisis dengan memperhatikan penampilan luar instrument itu disebut validitas tampang (face validity). Validitas tampang dievaluasi dengan membaca dan menyelidiki butir-butir instrument serta sekaligus membandingkannya dengan definisi konseptual mengenai variabel yang akan diukur. Validitas yang dianalisis dengan memperhatikan kerepresentativan butir-butir instrument disebut validitas penyampelan (sampling validity) atau kuikulum (curriculum validity). Validitas tampang maupun penyampelan disebut juga sebagai validitas teoritis karena penganalisisannya lazim dilakukan tanpa didasarkan pada data empiris. Alat yang digunakan untuk menganalisis validitas itu adalah logika dari orang yang menganalisisnya.

Menurut Saifuddin Azwar, validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgement. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validitas ini adalah ”sejauh mana item-item dalam tes mencakup keseluruhan kawasan ini (dengan catatan tidak keluar dari batasan tujuan ukur) objek yang hendak diukur” atau ”sejauh mana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur”.

Selanjutnya, validitas isi terbagi lagi menjadi dua tipe (Saifuddin Azwar), yaitu:
1. Face Validity (Validitas Muka) adalah tipe validitas yang paling rendah signifikansinya karena hanya didasarkan pada penilaian selintas mengenai isi alat ukur. Apabila isi alat ukur telah tampak sesuai dengan apa yang ingin diukur maka dapat dikatakan maka validitas muka telah terpenuhi.
2. Logical Validity (Validitas Logis) disebut juga sebagai Validitas Sampling (Sampling Validity) adalah validitas yang menunjuk pada sejauh mana isi alat ukur merupakan representasi dari aspek yang hendak diukur.

Validitas logis sangat penting peranannya dalam penyusunan prestasi dan penyusunan skala, yaitu dengan memanfaatkan blue-print atu table spesifikasi.
• Construct validity (Validitas konstruk) adalah tipe validitas yang menunjukkan sejauh mana alat ukur mengungkap suatu trait atau konstruk teoritis yang hendak diukurnya. (Allen & Yen, dalam Azwar 1986).
Pengujian validitas konstruk merupakan prosesyang terus berlanjut sejalan dengan perkembangan konsep mengenai trait yang diukur.

Menurut Saifuddin Azwar, validitas konstruk adalah seberapa besar derajat tes mengukur hipotesis yang dikehendaki untuk diukur. Konstruk adalah perangai yang tidak dapat diamati, yang menjelaskan perilaku. Menguji validitas konstruk mencakup uji hipotesis yang dideduksi dari suatu teori yang mengajukan konstruk tersebut.
• Criterion-related validity (Validitas berdasar kriteria). Validitas ini menghendaki tersedianya criteria eksternal yang dapat dijadikan dasar pengujian skor alat ukur. Suatu kriteria adalah variabel perilaku yang akan diprediksi oleh skor alat ukur.

Dilihat dari segi waktu untuk memperoleh skor kriterianya, prosedur validasi berdasar kriteria menghasilkan dua macam validitas (Saifuddinn Azwar), yaitu:
1. Validitas Prediktif. Validitas Prediktif sangat penting artinya bila alat ukur dimaksudkan untuk berfungsi sebagai predictor bagi kinerja di masa yang akan datang. Contoh situasi yang menghendaki adanya prediksi kinerja ini antara lain adalah dalam bimbingan karir; seleksi mahasiswa baru, penempatan karyawan, dan semacamnya.
Menurut Saifuddin Azwar, validitas prediktif adalah seberapa besar derajat tes berhasil memprediksi kesuksesan seseorang pada situasi yang akan datang. Validitas prediktif ditentukan dengan mengungkapkan hubungan antara skor tes dengan hasil tes atau ukuran lain kesuksesan dalam satu situasi sasaran.
2. Validitas Konkuren. Apabila skor alat ukur dan skor kriterianya dapat diperoleh dalam waktu yang sama, maka korelasi antara kedua skor termaksud merupakan koefisien validitas konkuren.

Menurut Saifuddin Azwar, validitas ini menunjukkan seberapa besar derajat skor tes berkorelasi dengan skor yang diperoleh dari tes lain yang sudah mantap, bila disajikan pada saat yang sama, atau dibandingkan dengan criteria lain yang valid yang diperoleh pada saat yang sama.

Asosiasi Psikologi Amerika (APA) (1974; dalam Anastasia, 1982) membedakan tiga tipe validitas, yaitu validitas isi, yang dikaitkan dengan criteria, dan konnstrak. Ketiga tipe validitas tersebut dapat diuji dengan dan atau tanpa menggunakan instrument yang telah teruji validitas maupun reabilitasnya.



B. Reliabilitas


1. Pengertian Reliabilitas

Walizer (1987) menyebutkan pengertian Reliability (Reliabilitas) adalah keajegan pengukuran.
Menurut John M. Echols dan Hasan Shadily (2003: 475) reliabilitas adalah hal yang dapat dipercaya. Popham (1995: 21) menyatakan bahwa reliabilitas adalah "...the degree of which test score are free from error measurement"

Menurut Masri Singarimbun, realibilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali – untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relative konsisten, maka alat pengukur tersebut reliable. Dengan kata lain, realibitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam pengukur gejala yang sama.

Menurut Brennan (2001: 295) reliabilitas merupakan karakteristik skor, bukan tentang tes ataupun bentuk tes.

Menurut Sumadi Suryabrata (2004: 28) reliabilitas menunjukkan sejauhmana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya. Hasil pengukuran harus reliabel dalam artian harus memiliki tingkat konsistensi dan kemantapan.

Dalam pandangan Aiken (1987: 42) sebuah tes dikatakan reliabel jika skor yang diperoleh oleh peserta relatif sama meskipun dilakukan pengukuran berulang-ulang.

Dengan demikian, keandalan sebuah alat ukur dapat dilihat dari dua petunjuk yaitu kesalahan baku pengukuran dan koefisien reliabilitas. Kedua statistik tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan (Feldt & Brennan, 1989: 105)
Reliabilitas, atau keandalan, adalah konsistensi dari serangkaian pengukuran atau serangkaian alat ukur. Hal tersebut bisa berupa pengukuran dari alat ukur yang sama (tes dengan tes ulang) akan memberikan hasil yang sama, atau untuk pengukuran yang lebih subjektif, apakah dua orang penilai memberikan skor yang mirip (reliabilitas antar penilai). Reliabilitas tidak sama dengan validitas. Artinya pengukuran yang dapat diandalkan akan mengukur secara konsisten, tapi belum tentu mengukur apa yang seharusnya diukur.
Dalam penelitian, reliabilitas adalah sejauh mana pengukuran dari suatu tes tetap konsisten setelah dilakukan berulang-ulang terhadap subjek dan dalam kondisi yang sama. Penelitian dianggap dapat diandalkan bila memberikan hasil yang konsisten untuk pengukuran yang sama. Tidak bisa diandalkan bila pengukuran yang berulang itu memberikan hasil yang berbeda-beda.

Pengukuran reliabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alat statistik (Feldt & Brennan, 1989: 105)
Berdasarkan sejarah, reliabilitas sebuah instrumen dapat dihitung melalui dua cara yaitu kesalahan baku pengukuran dan koefisien reliabilitas (Feldt & Brennan: 105). Kedua statistik di atas memiliki keterbatasannya masing-masing. Kesalahan pengukuran merupakan rangkuman inkonsistensi peserta tes dalam unit-unit skala skor sedangkan koefisien reliabilitas merupakan kuantifikasi reliabilitas dengan merangkum konsistensi (atau inkonsistensi) diantara beberapa kesalahan pengukuran.
Dalam kerangka teori tes klasik, suatu tes dapat dikatakan memiliki reliabilitas yang tinggi apabila skor tampak tes tersebut berkorelasi tinggi dengan skor murninya sendiri. Interpretasi lainnya adalah seberapa tinggi korelasi antara skor tampak pada dua tes yang pararel. (Saifuddin Azwar, 2006: 29). Reliabilitas menurut Ross E. Traub (1994: 38) yang disimbolkan oleh dapat didefinisikan sebagai rasio antara varian skor murni dan varian skor tampak . Secara matematis teori di atas dapat ditulis :




Reliabilitas alat ukur tidak dapat diketahui dengan pasti tetapi dapat diperkirakan. Dalam mengestimasi reliabilitas alat ukur, ada tiga cara yang sering digunakan yaitu (1) pendekatan tes ulang, (2) pendekatan dengan tes pararel dan (3) pendekatan satu kali pengukuran.
Pendekatan tes ulang merupakan pemberian perangkat tes yang sama terhadap sekelompok subjek sebanyak dua kali dengan selang waktu yang berbeda. Asumsinya adalah bahwa skor yang dihasilkan oleh tes yang sama akan menghasilkan skor tampak yang relatif sama. Estimasi dengan pendekatan tes ulang akan menghasilkan koefisien stabilitas. Untuk memperoleh koefisien reliabilitas melalui pendekatan tes ulang dapat dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi linear antara distribusi skor subyek pada pemberian tes pertama dengan skor subyek pada pemberian tes kedua. Pendekatan tes ulang sangat sesuai untuk mengukur ketrampilan terutama ketrampilan fisik.
Misalnya seorang guru hendak melihat reliabilitas tes yang telah dibuatnya. Setelah melakukan dua kali pengukuran didapatkan skor tes sebagai berikut:



Koefisien reliabilitas test di atas dapat dihitung dengan menggunakan formula korelasi produk momen dari Pearson sebagai berikut:



Dengan demikian, korelasi sebesar 0,954 menggambarkan bahwa reliabilitas tes cukup tinggi.
Salah satu kelemahan mendasar dari teknik test-retest adalah carry-over effect. Masalah ini disebabkan oleh adanya kemungkinan pada test yang kedua dipengaruhi oleh test pertama. Misalnya, jika peserta tes masih ingat dengan soal-soal dan bahkan jawaban ketika dilakukan test pertama. Hal ini dapat meningkatkan korelasi serta overestimasi terhadap PXX’. Ross E. Traub (1994: 38)





2. Jenis-jenis Reliabilitas
Walizer (1987) menyebutkan bahwa ada dua cara umum untuk mengukur reliabilitas, yaitu:
1. Relibilitas stabilitas. Menyangkut usaha memperoleh nilai yang sama atau serupa untuk setiap orang atau setiap unit yang diukur setiap saat anda mengukurnya. Reliabilitas ini menyangkut penggunaan indicator yang sama, definisi operasional, dan prosedur pengumpulan data setiap saat, dan mengukurnya pada waktu yang berbeda. Untuk dapat memperoleh reliabilitas stabilitas setiap kali unit diukur skornya haruslah sama atau hampir sama.
2. Reliabilitas ekivalen. Menyangkut usaha memperoleh nilai relatif yang sama dengan jenis ukuran yang berbeda pada waktu yang sama. Definisi konseptual yang dipakai sama tetapi dengan satu atau lebih indicator yang berbeda, batasan-batasan operasional, paeralatan pengumpulan data, dan / atau pengamat-pengamat.
Menguji reliabilitas dengan menggunakan ukuran ekivalen pada waktu yang sama bias menempuh beberapa bentuk. Bentuk yang paling umum disebut teknik belah-tengah. Cara ini seringkali dipakai dalam survai.Apabila satu rangkaian pertanyaan yang mengukur satu variable dimasukkan dalam kuesioner, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut dibagi dua bagian persis lewat cara tertentu. (Pengacakan atau pengubahan sering digunakan untuk teknik belah tengah ini.) Hasil masing-masing bagian pertanyaan diringkas ke dalam skor, lalu skor masing-masing bagian tersebiut dibandingkan. Apabila dalam skor kemudian skor masing-masing bagian tersebut dibandingkan. Apabila kedua skor itu relatif sama, dicapailah reliabilitas belah tengah.
Reliabilitas ekivalen dapat juga diukur dengan menggunakan teknik pengukuan yang berbeda. Kecemasan misalnya, telah diukur dengan laporan pulsa. Skor-skor relatif dari satu indikator macam ini haruslah sesuai dengan skor yang lain. Jadi bila seorang subyek nampak cemas pada ”ukuran gelisah” orang tersebut haruslah menunjukkan tingkatan kecermatan relatif yang sama bila tekanan darahnya yang diukur.

3. Metode pengujian reliabilitas
Tiga tehnik pengujian realibilitas instrument antara lain :
a. Teknik Paralel (Paralel Form atau Alternate Form)
Teknik paralel disebut juga tenik ”double test double trial”. Sejak awal peneliti harus sudah menyusun dua perangkat instrument yang parallel (ekuivalen), yaitu dua buah instrument yang disusun berdasarkan satu buah kisi-kisi. Setiap butir soal dari instrument yang satu selalu harus dapat dicarikan pasangannya dari instrumen kedua. Kedua instrumen tersebut diujicobakan semua. Sesudah kedua uji coba terlaksana, maka hasil instrumen tersebut dihitung korelasinya dengan menggunakan rumus product moment (korelasi Pearson).
b. Teknik Ulang (Test Re-test)
Disebut juga teknik ”single test double trial”. Menggunakan sebuah instrument, namun dites dua kali. Hasil atau skor pertama dan kedua kemudian dikorelasikan untuk mengetahui besarnya indeks reliabilitas.Teknik perhitungan yang digunakan sama dengan yang digunakan pada teknik pertama yaitu rumus korelasi Pearson.
Menurut Saifuddin Azwar, realibilitas tes-retest adalah seberapa besat derajat skor tes konsisten dari waktu ke waktu. Realibilitas diukur dengan menentukan hubungan antara skor hasil penyajian tes yang sama kepada kelompok yang sama, pada waktu yang berbeda.

Metode pengujian reliabilitas stabilitas yang paling umum dipakai adalah metode pengujian tes-kembali (test-retest). Metode test-retest menggunakan ukuran atau “test” yang sama untuk variable tertentu pada satu saat pengukuran yang diulang lagi pada saat yang lain. Cara lain untuk menunjukkan reliabilitas stabilitas, bila kita menggunakan survai, adalah memasukkan pertanyaan yang sama di dua bagian yang berbeda dari kuesioner atau wawancara. Misalnya the Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MPPI) mengecek reliabilitas test-retest dalam satu kuesionernya dengan mengulang pertanyaan tertentu di bagian-bagian yang berbeda dari kuesioner yang panjang.
Kesulitan terbesar untuk menunjukkan reliabilitas stabilitas adalah membuat asumsi bahwa sifat/ variable yang akan diukur memang benar-benar bersifat stabil sepanjang waktu. Karena kemungkinan besar tidak ada ukuran yang andal dan sahih yang tersedia. Satu-satunya faktor yang dapat membuat asumsi-asumsi ini adalah pengalaman, teori dan/atau putusdan terbaik. Dalam setiap kejadian, asumsi ini selalu ditantang dan sulit rasanya mempertahankan asumsi tersebut atas dasar pijakan yang obyektif.


c. Teknik Belah Dua (Split Halve Method)
Disebut juga tenik “single test single trial”. Peneliti boleh hanya memiliki seperangkat instrument saja dan hanya diujicobakan satu kali, kemudian hasilnya dianalisis, yaitu dengan cara membelah seluruh instrument menjadi dua sama besar. Cara yang diambil untuk membelah soal bisa dengan membelah atas dasar nomor ganjil-genap, atas dasar nomor awal-akhir, dan dengan cara undian.
Menurut Saifuddin Azwar, realibilitas ini diukur dengan menentukan hubungan antara skor dua paruh yang ekuivalen suatu tes, yang disajikan kepada seluruh kelompok pada suatu saat. Karena reliabilitas belah dua mewakili reliabilitas hanya separuh tes yang sebenarnya, rumus Spearman-Brown dapat digunakan untuk mengoreksi koefisien yang didapat.

Apa penyebab ketidakandalan?
Ada beberapa sumber ketidakandalan (unreliability), beberapa di antaranya telah dituangkan. Satu sumber ketidakandalan yang terbesar adalah ketidaksahihan (invalidity). Berikut ini adalah daftar periksa (check list) sumber-sumber yang menyebabkannya (Walizer ,1987) :
1. Orang atau unit yang diukur mungkin telah berubah sejak pengukuran pertama dan kedua. (Tentu saja perubahan dalam skor, haruslah ditafsirkan bukan sebagai ketidakandalan.)
2. Selama wawancara unit yang sedang diukur berubah, karena:
a. Pewawancara memperoleh pengalaman
b. Kelelahan pewawancara
c. Subyek mengalami hal-hal yang menyebabkan penafsiran mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan berubah (sebagai kebalikan dari perubahan seharusnya dari apa yang sedang diukur).
d. Kesalahan-kesalahan diperbuat.
3. Aspek situasi tempat pengukuran berlangsung mungkin berubah sejak pengukuran pertama dan yang kedua. Hal-hal seperti waktu (pagi, siang, sore), tempat berlangsungnya pengukuran, orang-orang yang berada dekat di sekitar yang mungkin mempengaruhi respon mereka dan sebagainya mungkin berbeda.
4. Pertanyaan-pertanyaan mungkin mendua artinya, sehingga ditafsirkan secara berbeda pada saat pengisian kuesioner yang berbeda.
5. Pengkode dan/atau pengamat mungkin membuat penafsiran sendiri-sendiri.
6. Apa yang nampak sebagai satu teknik ekivalen sebenarnya tidaklah demikian karena pemilihan pembandingan yang kurang baik.
7. Terjadi kekeliruan dalam mencatat hasil pengamatan atau memberi kode-kodenya.
8. Atau mungkin kombinasi penyebab-penyebab terdahulu.

Reliabel : Haruskah Ajeg? (Feldt & Brennan, 1989: 105)
Sering kita dengar baik dalam kuliah atau dalam ruang ujian, jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan "Apa yang dimaksud reliabilitas?" seperti ini : "Taraf Kepercayaan, yaitu seberapa besar tes dapat dipercaya. Tes yang reliabel akan menghasilkan skor yang relatif sama jika diteskan beberapa kali pada subjek yang sama . Dengan kata lain seberapa ajeg sebuah tes jika diteskan beberapa kali pada subjek yang sama di waktu yang berbeda."
Jika demikian adanya, maka secara logis, satu-satunya cara untuk mengestimasi reliabilitas adalah dengan melakukan pengetesan paling tidak dua kali pada sekelompok subjek yang sama. Tapi benarkah begitu?
Pada prakteknya kita mengenal paling tidak ada 3 pendekatan terhadap estimasi reliabilitas. Dan orang yang memberikan jawaban seperti di atas juga memilih metode estimasi reliabilitas yang hanya melakukan 1 kali administrasi tes. Jadi mana tingkat keajegannya?
Baiklah, mungkin beberapa orang tidak terlalu peduli dengan hal ini. Yang penting ada angka reliabilitasnya, habis perkara. Tapi ijinkan kami mencoba berbagi pemikiran mengenai hal ini.
Kita mulai dari konsep reliabilitas dulu. Reliabilitas seperti yang sering diucapkan atau ditulis di buku, memiliki arti tingkat kepercayaan. Kita coba pilah kata ini menjadi Rely dan Ability atau dapat dipercaya. Tapi apa maksud dari dapat dipercaya ini? Yang dimaksud dapat dipercaya disini adalah seberapa besar kita bisa mempercayai hasil tes yang kita dapatkan, atau juga seberapa besar tingkat kesalahan yang muncul ketika seseorang mengerjakan suatu tes. Semakin besar tingkat kesalahan yang muncul ketika seseorang mengerjakan suatu tes, hasil yang diperoleh dari tes tersebut makin tidak dapat dipercaya, makin tidak reliabel.
Misalnya: seseorang dites (tes apa saja, karena reliabilitas tidak terlalu peduli dengan isu materi yang diteskan) kemudian memperoleh hasil sebesar 100. Nah jika tes tersebut reliabel, maka kita bisa yakin bahwa kapasitas orang tersebut memang 100. Atau dengan kata lain, angka 100 itu diperoleh bukan karena faktor lain selain kapasitas orang tersebut. Jika angka 100 ini diperoleh lebih banyak karena faktor lain (faktor lain ini yang disebut error), maka kita akan berkata bahwa tes tersebut tidak reliabel.
Konsep reliabilitas didasarkan pada asumsi bahwa dalam tiap pengetesan selalu ada
 X, skor yang kita peroleh dari hasil pengetesan (skor Tampak)
 T, skor yang menggambarkan kapasitas seseorang yang sesungguhnya (skor Murni)
 e, faktor lain selain kapasitas yang juga menyumbang terhadap perolehan X yang disebut juga error.
Dan ketiganya terkait satu sama lain dalam persamaan seperti ini :
X = T + e

Ini dapat dibaca seperti berikut : dalam setiap pengetesan, hasil tes yang kita peroleh merupakan fungsi penjumlahan dari skor Murni dan error. Tes dapat dikatakan reliabel jika Tes menghasilkan error yang kecil, sehingga hasil tes makin mencerminkan kapasitas yang sebenarnya (atau X = T ).

Lalu dari mana ide "keajegan" muncul?

Diasumsikan bahwa nilai T memiliki sifat ajeg dalam beberapa kali pengukuran pada subjek yang sama. Tapi keajegan ini hanya ada dalam abstraksi teoretik saja, karena keajegan yang dimaksud di sini adalah keajegan T jika memenuhi syarat tertentu :
 Tiap pengetesan bersifat saling independen, pengukuran pertama tidak mempengaruhi pengukuran berikutnya. Jadi anggaplah seseorang dites lalu dihipnotis untuk membuatnya lupa dengan jawaban dan soal yang telah diberikan.
 Kapasitas orang itu sendiri belum berubah. Jadi keajegan ini hanya mungkin jika setelah dites, orang ini dimasukkan dalam mesin waktu dan dikembalikan ke keadaannya saat dites pertama kali.

Mustahil? Ya jelas! maka dari itu ide mengenai keajegan ini hanya ada dalam abstraksi teoretik.

Namun demikian tentu saja kita tetap dapat mengestimasi reliabilitas dengan cara melakukan tes berulang lalu mengkorelasikan hasil tes pertama dengan tes kedua. Dengan mempertimbangkan beberapa kelemahan dan persyaratannya.

Pendekatan-Pendekatan Estimasi Reliabilitas (Feldt & Brennan, 1989: 105)

Dari beberapa asumsi yang mendasari pemikiran mengenai reliabilitas, kemudian diturunkanlah beberapa pendekatan untuk mengestimasi reliabilitas.
 Pendekatan Tes-Retes. Pendekatan ini mengestimasi reliabilitas tes dengan melakukan tes ulang, kemudian mengkorelasikan hasil tes pertama dengan hasil tes kedua. Hasil korelasi ini yang merupakan estimasi reliabilitasnya, sering juga disebut sebagai koefisien stabilitas atau keajegan. Jadi definisi reliabilitas =keajegan hanya berlaku untuk pendekatan ini. Tapi tentu saja karena tidak mungkin memenuhi persyaratan di atas, pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan
o Hanya dapat diterapkan pada tes yang mengukur konstruk yang bersifat cenderung ajeg, misalnya kepribadian.
o Estimasi reliabilitas akan dipengaruhi oleh adanya carry over effect. Maksudnya, jika jarak pengetesan pertama dan kedua sangat dekat, maka subyek akan cenderung mengingat jawaban yang diberikan pada pengetesan pertama. Ini membuat makin besarnya kemungkinan subyek akan memberikan jawaban pada pengetesan kedua yang cenderung sama dengan jawaban yang diberikan pada pengetesan pertama.Hal ini akan menyebabkan overestimasi reliabilitas, tes terkesan/ terlihat lebih reliabel daripada yang sebenarnya.
o Estimasi reliabilitas juga dipengaruhi adanya practice effect. Ini terjadi ketika subyek, dalam rentang waktu antara tes pertama dan kedua, belajar atau berlatih untuk meningkatkan kapasitasnya, ini terjadi khususnya dalam estimasi reliabilitas tes performansi maksimal seperti tes prestasi. Practice effect akan menyebabkan underestimasi reliabilitas, tes terkesan tidak ajeg karena adanya pembelajaran, sehingga hasil tes kedua akan cenderung lebih baik dari hasil tes pertama.
 Pendekatan Tes Paralel, pendekatan ini mengestimasi reliabilitas dengan menggunakan dua tes paralel, dua tes yang mengukur hal /konstruk yang sama, kemudian mengkorelasikan hasil pengetesan dari tes pertama dengan hasil tes paralelnya. Koefisien korelasi yang didapatkan disebut juga koefisien ekuivalensi. Namun demikian pendekatan ini sangat jarang (kalaupun ada) dilakukan karena sulitnya menghasilkan dua tes yang benar-benar paralel.
 Pendekatan Konsistensi Internal, pendekatan ini mengestimasi reliabilitas dengan membelah tes menjadi beberapa bagian, lalu "mengkorelasikan" bagian-bagian tersebut. "Korelasi" di sini sebenarnya tidak benar-benar mengkorelasikan bagian-bagian secara harafiah, tapi menggunakan formula-formula yang dikembangkan untuk mengestimasi reliabilitasnya. Koefisien yang diperoleh dinamai juga koefisien konsistensi internal. Pendekatan inilah yang paling sering digunakan selama ini karena lebih praktis dan ekonomis. Meskipun demikian pendekatan ini tidak dapat mengestimasi error yang diakibatkan oleh keadaan temporer karena hanya dilakukan satu kali. Jadi pendekatan ini memang bukan "jawaban terhadap segala masalah" dalam hal mengestimasi reliabilitas.

Kesimpulan
Jadi, reliabilitas apakah sama dengan keajegan?
Jika kita melihat permasalahan ini dari kacamata asumsi yang mendasari pemikiran reliabilitas di atas, maka reliabel = ajeg. tentu saja dengan persyaratan yang mustahil untuk dipenuhi tadi.
Tapi jika dilihat dalam konteks aplikasinya, reliabilitas tidak selalu sama dengan keajegan, tergantung dari pendekatan mana yang digunakan untuk mengestimasinya.

Mungkin akan lebih aman jika kita menyebut reliabilitas sebagai "tingkat kepercayaan, seberapa jauh error yang dihasilkan dari tes, dan seberapa jauh hasil tes dapat dipercaya". (Feldt & Brennan, 1989: 105)

observasi

OBSERVASI

A. Pengertian

I. Menurut Lerbin R. Aritonang R.
Menurut Hadi (1992), sebagai metode ilmiah, observasi merupakan pengamatan dan pencatatan yang dilakukan secara sistematis terhadap sesuatu yang di selidiki. Shaughnessy dan Zechmeister (1994) juga mengemukakan bahwa observasi ilmiah dilakukan pada kondisi yang sudah didefinisikan secara tepat, dengan cara yang sistematis dan objektif, serta pelaksanaan pencatatan dilakukan dengan hati-hati. Jadi observasi yang dimaksudkan pada metodologi penelitian atas suatu variable yang dilakukan secara sistematis dan objektif dalam kondisi yang didefinisikan secara tepat, serta hasilnya dicatat dengan hati-hati.
Dari pengertian mengenai observasi di atas kita dapat mengetahui bahwa tidak semua observasi bersifat ilmiah. Dalam kaitan itu, Shaughnessy dan Zechmeister (1994) mengemukakan gambaran mengenai perbedaan observasi yang dilakukan ilmuwan dan non ilmuwan berikut ini. Nonilmuwan mungkin melakukan observasi secara kasual dan sering tidak menyadari bias pribadi dan situasional yang mungkin mempengaruhi proses observasi yang dilakukannya. Nonilmuwan juga jarang melakukan pencatatan secara formal mengenai hasil observasinya, tetapi lebih bergantung pada daya ingatnya.
Menurut Tull dan Hawkins (1993), minimal ada tiga kondisi yang harus dipenuhi untuk melakukan observasi. Pertama, data mengenai variable yang diobservasi harus dapat diakses melalui observasi. Kedua, perilaku yang terjadi didalam observsi harus terjadi secara berulang-ulang, sering atau dapat diperdiksi. Ketiga, kejadian yang menjadi variable penelitian harus mencakup rentang waktu yang singkat. Ini didasarkan pada pertimbangan tenaga dan biaya.
II. Menurut DR.Kartini Kartono
Observasi ialah studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena social dan gejala-gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan
Observasi ialah pengujian secara intensional atau bertujuan sesuatu hal, khususnya untuk maksud pengumpulan data. Merupakan suatu verbalisasi mengenai hal-hal yang diamati. (James, P. Chaplin, 1981).
Tujuan observasi : mengerti cirri-ciri dan luasnya signifikansi dari interrelasi elemen-elemen tingkah laku manusia pada fenomena social yang serba kompleks, dalam pola-pola kultur tertentu.
Menurut M. Jehoda observasi bisa dijadikan alat bagi penelitian ilmiah jika memenuhi kriteria sebagai berikut :
1) Diabdikan pada pola dan tujuan penelitian yang sudah ditetapkan.
2) Direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis dan tidak secara kebetulan.
3) Dicatat dan dikaitkan secara sistematis dengan proporsi-proporsi yang lebih umum, dan tidak didorong oleh rasa ingin tahu belaka.
4) Dicek dan dikontrol validitas, reliabilitas dan ketelitiannya.

Sedangkan Good C.V. mencirikan observasi sebagai teknik pengumpulan data dalam metodologi riset dengan sifat-sifat sebagai berikut :
1) Mempunyai arah dan tujuan yang khusus
2) Observasi ilmiah tidak dilakukan secara untung-untungan dan sesuka hati dalam usaha mendekati situasi atau obyeknya.
3) Observasi sifatny kuantitatif yaitu mencatat sejumlah peristiwa tentang tipe-tipe tingkah laku social tertentu
4) Observasi melakukan pencatatan dengan segera, secepatnya,tidak menyandarkan diri pada kekuatan ingatan
5) Menuntut adanya keahlian dilakukan oleh orang-orang yang terlatih untuk tugas ini.
Mengenai pendapat Good ini ada golongan yang keberatan terhadap beberapa hal khususnya mengenai ciri untuk memperoleh data sebanyak mungkin. Sebab ciri kuantitatif ini sering dihindari karena pada umumnya memerlukan pembiayaan dan energi yang banyak. Sedangkan pencatatan dengan segera ada kalanya kurang tepat.
III. Menurut Prof.DR. Hadari Nawawi
Observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian.
Observasi langsung dilakukan terhadap obyek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa.
Observasi tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya suatu peristiwa yang akan diselidiki. Misalnya diamati melalui film.
Syarat untuk menghimpun data secara efektif adalah:
1. Observer harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai obyek yang akan diamati
2. Observer harus memahami tujuan umum dan tujuan khusus dari penelitian yang dilaksanakan
3. Tentukan cara dan alat yang dipergunakan dalam mencatat data
4. Tentukan kategori pencatatan gejala yang diamati
5. Observasi harus dilakukan secara cermat dan kritis
6. Pencatatan setiap gejala harus dilakukan secara terpisah
7. Pelajari dan latihlah cara-cara mencatat sebelum melakukan observasi

Menurut Hartini :

Observasi atau pengamatan merupakan salah satu teknik pengumpulan data/fakta yang cukup efektif untuk mempelajari suatu sistem. Observasi adalah pengamatan langsung para pembuat keputusan berikut lingkungan fisiknya dan atau pengamatan langsung suatu kegiatan yang sedang berjalan.

Mengamati Perilaku Para Pembuat Keputsan
Jenis informasi yang dicari saat mengamati perilaku para pembuat keputusan berikut lingkungan fisiknya adalah :
a. Mengumpulkan pandangan-pandangan mengenai apa yang sebenarnya
b. dilakukan para pembuat keputusan.
a. Melihat secara langsung hubungan yang ada antara pembuat keputusan dengan
c. anggota organisasional lainnya.
a. Mengamati pengaruh yang ditimbulkan pembuat keputusan terhadap unsurunsur
d. fisik ruang kerja mereka.
a. Memahami pesan-pesan yang dikirim lewat kontrolnya (misalnya cara
e. berpakaian, posisi meja)

Observasii membantu menegaskan atau menolak serta melihat kembali tentang apa saja yang telah ditemukan lewat wawancara, kuesioner. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mengamati kegiatan-kegiatan pembuat keputusan seorang manajer :
a. Putuskan apa yang diobsevasi (kegiatan).
b. Putuskan pada level berapa kegiatan-kegiatan konkret tersebut diobservasi.
c. Menciptakan kategori-kategori yang memadai untuk menangkap kegiatan-kegiatan utama.
d. Menyiapkan skala, daftar nama atau materi-materi lainnya yang tepat untuk observasi.
e. Memutuskan kapan melakukan observasi.

Setiap pendekatan terhadap kapan harus melakukan observasi memiliki masingmasing
kelebihan dan kekurangannya. Sampling waktu memungkinkan penganalisis
menyusun interval-interval tertentu untuk mengamati kegiatan para manajer.
Sedangkan sampling peristiwa menampilkan pengamatan suatu perilaku integral
menurut konteks alamiahnya.




IV. PENGERTIAN OBSERVASI menurut H.M. Martini
Observasi secara singkat dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala pada obyek penelitian. Unsur yang tampak itu disebut data atau informasi yang harus diamati dan dicatat secara benar dan lengkap.

INSTRUMEN PENCATATAN HASIL PENGAMATAN
Untuk pencatatan hasil pengamatan itu dapat digunakan instrument sebagai berikut:
1. Catatan Anekdot
Dalam melakukan pengamatan terhadap suatu keadaan/situasi, kejadian atau peristiwa yang berhubungan dengan masalah penelitian, setiap peneliti harus mampu mengidentifikasi munculnya unsure-unsur dari gejala-gejala dalam variable penelitiannya.
2. Catatan berkala
Catatan ini tidak berbeda dengan catatan anekdot seperti yang telah diuraikan diatas. Bentuknya adalah lembaran-lembaran kertas putih atau buku catatan biasa.
3. Daftar cek
Pencatatan anekdot dan catatan berkala sulit pelaksanaanya dan hasilnya sulit pula untuk di olah. Hasil yang dicapai tidak seragam, dapat menimbulkan kekeliruan. Usaha untuk memperbaiki instrument pencatat data seperti itu dilakukan dengan membuat instrument untuk mencatat data yang disebut dengan daftar cek (check list).
4. Skala nilai
Penggunaan daftar cek untuk menghimpun data dalam observasi,seringkali belum memuaskan seroang peneliti. Untuk itu dilakukan usaha penyempurnaan dan pengembangan menjadi alat pengumpul data yang disebut skala nilai.

B. Jenis Observasi
Menurut Lerbin R. Aritonang R.
Ada beberapa dasar yang dapat digunakan untuk membedakan observasi sebagaimana di kemukakan berikut ini:
• Pertama, berdasarkan latar belakang kondisi pelaksanaanya, observasi dibedakan menjadi observasi secara alamiah dan observasi yang dimodifikasi/dibuat. Observasi yang alamiah dilakukan dalam keadaan yang sebenarnya, tanpa adanya intervensi atau usaha pengamat untuk memodifikasi kondisi yang sebenarnya. Misalnya, untuk mengetahui bagaimana konsumen membandingkan harga sebelum membeli suatu produk, peneliti mengobservasi para pembeli yang ada di supermarket. Sebenarnya hal ini dapat juga di lakukan dengan membuat toko stimulasi disuatu ruangan dan meminta konsumen untuk berperilaku seolah-olah ia sedang berada di supermarket. Namun demikian, latar belakang kondisi untuk contoh yang belakangan ini tidak alamiah sehingga data yang diperoleh menjadi kurang mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
• Kedua, berdasarkan tujuannya observasi dibedakan menjadi observsi terbuka dan observasi tertutup. Pada observasi tertutup, pengamat melakukan pengamatan tanpa diketahui oleh orang yang diamati. Sedangkan pada observasi terbuka, antara pengamat dan orang yang diamati sama-sama dapat melihat satu sama lain.
• Ketiga, berdasarkan strukturnya obersvasi dibedakan menjadi observasi terstruktur dan tidak terstruktur. Pada observasi terstruktur, pengamat mengetahui secara tepat dan rinci sebelumnya aspek-aspek apa saja yang harus diobservasi atau dicatat pada waktu observasi berlangsung. Sebaliknya pada observasi tidak terstruktur, pengamat tidak mengetahui secara tepat dan rinci sebelumnya aspek-aspek apa saja yang harus dirinci.
• Keempat, berdasarkan alat pengadministrasiannya, observasi dibedakan menjadi observasi yang dilakukan oleh manusia dan observasi yang dilakukan secara mekanis, yaitu dengan menggunakan alat Bantu seperti kamera.
• Kelima, berdasarkan cara pencatatannya, observasi dibedakan menjadi observasi dengan deskripsi verbal, daftar periksa, dan lain sebagainya. Pada deskripsi verbal, semua hasil pengamatan ditulis dalam bentuk uraian tertulis, kalimat. Pada daftar periksa, semua atau sebagian besar aspek yang akan diobervasi telah diketahui dan dicatat sehingga pengamat hanya memberi tanda periksa atau centang pada kategori yang telah disediakan.
Keenam, Berdasarkan partisipasi yaitu partisipan dan non partisipan
Menurut Kartini Kartono
Menurut cara pelaksanaanya dan tujuannya, observasi dapat dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu :
1) Observasi Partisipatif
2) Observasi sistematis
3) Observasi eksperimental



1. Observasi Partisipatif
Pada prosedur teknik obsrevasi jenis ini, observer atau pengamat benar-benar ikut mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para subyek yang di observasi. Dengan kata lain, observer ikut aktif berpatisipasi dalam aktivitas, di dalam konteks social ang tengah diselidikinya. Teknik ini pada umumnya digunakan dalam penelitian eksprolatif: misalnya pada riset atau survey terhadap masyarakat suatu suku bangsa atau terhadap unit-unit social yang berjumlah besar.
Observasi partisipatif merupakan lawan dari observasi non pastisipatif, dimana observer tidak ikut berpatisipasi dalam kegiatan-kegiatan para subyek yang diamati. Observasi pastisipatif ini pada mulanya banyak dipakai dalam penelitian-penelitian di bidang antropologi. Lambat laun teknik observasi partisipatif ini ditetapkan juga pada penelitian terhadap kesatuan-kesatuan social lainnya.

Agar observasi partisipatif bisa sukses, observer perlu memperhatikan factor-faktor sebagai berikut:
a. materi apa yang harus diobservasi
b. bilamana dan bagaimana cara pencatatan yang baik
c. memelihara hubungan baik antara observer dengan subyek yang diobservasi
d. mengetahui batas intensitas dan ekstensitas partisipasi

Mengenai materi yang hendak diamati, hendaknya diteliti cirri-ciri dan kekhasan sifatnya, umpamanya:interaksi para subyek, konteksnya, kontinu atau memakai interval, kekhususan apa yang menyolok, dan apakah terjadi penyimpangan-penyimpangan. Hendaknya bisa ditegaskan pula batas antara data factual dan data interpretative.

Mengenai waktu dan bentuk pencatatan, supaya dicari waktu yang “favourable” dan paling mengena. Hendaknya dicari saat-saat psikologis yang baik. Pencatatan di tempat merupakan cara yang paling baik. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya penyelewengan dari pengamatan yang berkemampuan terbatas, dan mencegah pemalsuan data sebagai akibat limitasi dari ingatan. Sungguhpun demikian, pencatatan “on the spot” ada kalanya sukar atau tidak dapat dilakukan, disebabkan oleh beberapa halangan, yaitu antara lain:
a. bisa menimbulkan kecurigaan dan rasa kurang/tidak senang pada pihak observee
b. bila terganggu situasinya, maka iklim spiritual dan relasi pribadi yang baik harus diperbaiki lebih dahulu
c. observasi menjadi kurang teliti karena observer harus memecah perhatian untuk ikut berpatisipasi, mengadakan observasi, dan sekaligus melakukan pencatatan.

Dalam hal intensitasi dan ekstensitas dari partisipasi, bisa dibedakan beberapa bentuk partisipasi, yaitu:
1. partisipasi parsiil/ sebagian;yaitu ikut mengambil bagian dalam beberapa kegiatan social saja
2. partisipasi penuh, dengan ikut serta pada semua kegiatan social
3. partisipasi intensif, bila observasi ikut terjun aktif sepenuh-penuhnya dalam semua kegiatan social
4. partisipasi permukaan atau surface participation, jika observer hanya berpartisipasi secara minimal saja

Pada umumnya keberhasilan observasi partisipatif itu sangat bergantung pada factor waktu yang cukup lama. Hal ini sangat diperlukan untuk melancarkan komunikasi, dan menciptakan iklim yang menguntungkan bagi observasi. Masing-masing obervasi yang disebut bagian atas itu mempunyai kebaikan dan kelemahannya sendiri hal ini sangat bergantung pada kondisi dan situasinya.

2. Observasi sistematis atau observasi berstruktur.

Observasi sistematis sering disebut pula sebagai Observasi berstruktur atau Observasi berkerangka. Ciri utamanya ialah : mempunyai struktur atau kerangka yang jelas, didalamnya berisikan semua factor yang diperlukan, dan sudah dikelompokan dalam kategori-kategori dan tabulasi-tabulasi tertentu. Juga dicantumkan di dalamnya cirri-ciri khusus dari setiap factor secara kategoris untuk memudahkan analisa. Apabila dalam suatu observasi tidak ditemui sistematika secara kategoris dan strukturnya, maka observasi ini digolongkan dalam observasi non –sistematis.
Oleh karena dalam jenis observasi sistematis ada kategori-kategori permasalahan, maka materi observasi mempunyai scope ( isi, luas, situasi dan wilayah penelitian ) yang lebih sempit dan lebih terbatas. Akan tetapi dengan begitu observasinya bias lebih terarah, sedang pencatatan hasil observasi partisipatif menjadi lebih teliti. Materi yang diteliti itu bukannya berupa seluruh segi kehidupan dari masyarakat, seperti halnya pada observasi yang umumnya digunakan dalam riset eksploratif. Maka untuk melaksanakan pencatatan-pencatatan observasi sistematis orang sering memakai alat-alat pencatat yang serba praktis dan sederhana penggunaannya, seperti lis pengecek / check list, rating scale, dan alat-alat lainnya.
Pada umumnya observasi sistematis ini didahului oleh suatuobservasi pendahuluan. Yaitu dengan observasi partisipatif, guna mengadakan penemuan dan perumusan masalahnya dalam usaha-usaha yang eksploratif sifatnya. Sekaligus orang berusaha menyusun kategori-kategori masalah. Sering kali observasi sistematis itu dibantu dengan alat-alat pencatat mekanis ( mechanical devices ) seperti film, kamera foto, pita perekam, tape recorder dan sebagainya. Sebab dari observasi sistematis ini dituntut adanya ketelitian dan kecermatan yang tinggi, hasil kuantitatif yang cukup banyak dan hasil kualitatif yang tinggi pula. Oleh karena itu observasi sistematis memerlukan lebih banyak persiapan yang cermat dan cukup kompleks.
Lagi pula untuknya dibutuhkan biaya yang cukup besar. Oleh karena itu observasi jenis ini biasanya hanya dilakukan dalam jangka waktu yang pendek. Apabila pada observasi jenis ini orang menggunakan :

1. Alat-alat bantu pencatatan yang modern ( Modern mechanical devices )
2. Mempekerjakan jumlah observer yang lebih banyak, maka pasti akan diperoleh data sebanyak-banyaknya dalam waktu yang relative pendek dan terbatas.

Kebaikan penggunaan alat-alat mekanis tadi ialah : pada setiap saat pesawat tersebut bias berputar kembali. Jika sekiranya diperlukan untuk penganalisaan lebih teliti. Hanya saja pelaksanaan sedemikian ini cukup mahal, memerlukan pembayaran cukup besar.
Dilain pihak, observasi sistematis ini bias menimbulkan beberapa kesulitan, antara lain ialah :
1) Hubungan antara observer dengan observer bisa menjadi kaku, dan suasananya jadi kikuk
2) Observee bertingkah laku artifisil dibuat-buat, overacting, kaku dan lain-lain. Karena menyadari kalau ia tengah diobservasi. Untuk menghindari kesulitan-kesulitan ini antara lain : orang lalu menggunakan layer kaca searah atau “ one way screen”, yaitu berupa kaca tembus yang hanya bisa dilihat atau ditembus dari satu arah saja ( berlangsung dikamar studi dan laboratorium )
3) Patut pula diusahakan agar supaya para observase tidak berkeberatan menerima perilaku observase yang menggunakan macam-macam peralatan guna mengadakan pencatatan. Untuk memperoleh bantuan dan kerjasama ini ada baiknya jika sebelum melakukan observasi yang sebenar-benarnya, observee ( subjek yang akan diamati ) sudah pernah hadir sesekali atau beberapa kali dalam situasi semacam yang hendak diteliti itu.

3. Observasi Eksperimental.
Observasi jenis ini dilakukan secara non-partisipatif, namun berstruktur dan sistematis. Tujuan observasi ialah untuk mengetahui adanya perubahan-perubahan, timbulnya variable-variabel dan gejala-gejala kelainan, sebagai satu situasi ekperimental yang sengaja diadakan untuk bisa diteliti. Kondisi, situasi serta persyaratan bisa diubah-ubah dan dikendalikan, sehingga tercipta suasana yang menguntungkan guna melaksanakan percobaan atau eksperimen. Pengaturan dan pengendalian terhadap semua kondisi dan factor itu perlu sekali guna mengurangi atau menyadari timbulnya variable-variabel yang tidak diharapkan, sehingga mempengaruhi eksperimen dan mengarah pada segi-segi negatif.
Observasi eksperimental disebut sebagai observasi dalam situasi test. Pengamatan dilakukan dengan amat teliti untuk kemudian dianalisa dan dihitung dengan kecermatan yang tinggi. Tempat pelaksanaannya pada umumnya ialah dilaboratorium klinik-klinik khusus, ruang studi universitas dan lain-lain.
Cronbach dalam bukunya “ Essential of Physcological Testing “ menggemukakan cirri-ciri observasi eksperimental sebagai berikut :
1) Observer dihadapkan pada situasi-perangsang yang diciptakan secara seseragam mungkin untuk semua observasi.
2) Situasinya dibuat begitu rupa sehingga bisa diubah-ubah guna memungkinkan timbulnya variasi-variasi tingkah laku atau aktivitas yang beraneka ragam yang jelas bisa diamati oleh observer.
3) Situasinya dibuat sedemikian rupa, sehingga observase tidak mengetahui maksud yang sebenarnya dari observasi namun demikian, situasinya hendaknya bisa diterima dan dimaklumi oleh para observase.
4) Dibantu dengan alat-alat pencatat yang cukup, guna mengadakan pencatatan yang diteliti sebab data yang tepat itu memudahkan pengolahan selanjutnya.
Dalam observasi eksperimental ini variabel-variabel tertentu bisa diadakan atau ditimbulkan dengan sengaja. Data harus cukup banyak jumlahnya, sebagai hasil dari ulangan-ulangan yang terus¬menerus --tanpa atau dengan pengubahan stimulus dan kondisi¬nya - dan bisa dikendalikan, serta dikontrol. Untuk observasi eksperimental ini pada umumnya alat-alat pencatat, kondisi serta prosedur yang digunakan telah distandardisasikan. Olel1 ciri-cirinya yang cermat-teliti secara minutius itu, observasi eks¬perimental dianggap sebagai cara penelitian yang relatif murni atau sempurna.
Perbedaan antara observasi partisipatif dengan observasi eksperimental ialah sebagai berikut: pada observasi partisipatif, server (selaku partisipan dan selaku observer) tidak bisa atai Idak mampu mengendalikan situasinya. Situasi dan kondil dial semuanya ada di lunar kontrol, dan di luar pengendalian ,Server. Oleh karena ini, maka peneliti hanya ikut hanya dalan rus dinamika dan kompleksitas situasi sosialnya.
Pada observasi eksperimental yang biasanya dilakukan dalarr tboratorium atau ruang studi khusus untuk melakukan eks eimen (percobaan) adalah sebaliknya. Observer secara konkrii tampu mengendalikan situasi dan kondisi-kondisinya untuk enimbulkan variabel-variabel tingkah laku (yang sengaja di rangsang timbulnya), agar gejala-gejalanya bisa diteliti dan diperbandingkan.
Kebaikan observasi eksperimental ini antara lain ialah: orang tidak perlu menunggu-nunggu terlalu lama timbulnya suatu tingkah laku; misalnya gejala-gejala yang jarang muncul dalam keadaan normal. Sebab dengan stimulus dan kondisi yang sengaja ciptakan itu bisa ditimbulkan gejala-gejala yang diharapkan. Paalnya gejala-gejala frustrasi. ketekunan, reaksi-agresif, reaksi¬resif, reaksi proyektif, dan lain-lain.
Mengingat bahwa dalam zaman modern sekarang ini peranan riset dan survey semakin penting demi kemajuan ilmu pengetahuan demi usaha memajukan tingkah kesejahteraan umat manusia, maka keterampilan menerapkan observasi ekspernental dan eksperimen (kedua-duanya merupakan teknik pengurnpulan data dalam riset dan survey yang amat penting) merupakan se¬gian dari persyaratan yang diperlukan.

C. CATATAN MENGENAI OBSERVSI TERKONTROL DAN TIDAK TERKONTROL
Menurut Lerbin R. Aritonang R.
Agar pelaksanaan maupun hasil observasi dapat menjadi lebih baik dan akurat, sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan, ada beberapa hal yang perlu dipedomani. Pedoman yang dikemukakan berikut ini merupakan rangkuman dari pedoman observasi yang dikemukakan oleh Brandt.
a. Pertama, peneliti perlu memperoleh sebelumnya pengetahuan mengenai apa atau variable apa yang akan diobservasi. Hal ini dapat dilakukan dengan lebih dulu mencari dan mempelajari bahan yang berkaitan dengan variable yang akan diobservasi. Jika observasi juga dilakukan oleh orang lain, maka peneliti harus memberikan pelatihan atau pengarahan khusu kepada pengamat mengenai variable yang akan diobservasi.
b. Kedua, peneliti perlu menyelidiki tujuan-tujuan umum maupun khusus dari penelitiannya untuk menentukan apa yang harus diobservasi. Selanjutnya, atas dasar itu, dispesifikasikan butir-butir atau hal-hal yang harus diobservasi, termasuk definisi operasionalnya sehingga memudahkan pencatatan hasil observasi yang dilakukan. Dengan demikian, pengamat akan memiliki pedoman yang jelas untuk menentukan apa yang seharusnya dicatat dan tidak dicatat pada pelaksanaan suatu observasi.
c. Ketiga, peneliti perlu membuat suatu cara untuk mencatat hasil-hasil observasi, misalnya dengan menggunakan daftar periksa, steno, dan lain sebagainya. Dalam kaitan itu, pengamat harus menguasai dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan alat tersebut.
d. Keempat, peneliti perlu mengadakan dan membatasi dengan tegas macam-macam tingkat kategori yang akan digunakan untuk pencatatan. Untuk keaktifan konsumen misalnya, apakah cukup menggunakan kategori berupa aktif dan tidak aktif atau menggunakan kategori yang lebih banyakm misalnya sangat aktif, aktif, sedang, tidak aktif, dan sangat tidak aktif.
e. Kelima, peneliti perlu melakukan observasi dengan secermat-cermatnya dan sekritik-kritiknya. Kecermatan dan kekritisan itu umumnya berkembang sejalan dengan pengalaman pengamat.
f. Keenam, peneliti mencatat tiap-tiap gejala secara terpisah dan sesegera mungkin. Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan analisi dan agar tidak salah mencatat karena lupa.
g. Ketujuh, peneliti perlu untuk memutuskan apakah pengamat diperkenankan juga untuk menduga dan menginterpretasikan variable yang diobservasikan atau hanya boleh mencatat hal yang secara nyata diobservasinya. Jika pengamat diperkenankan melakukan hal itu, maka batasannya perlu dispesifikasikan. Hal ini dimaksudkan agar reabilitas observasi yang dihasilkan lebih tinggi.
h. Kedelapan, kaitkan hasil observasi dengan kemungkinan analisisnya. Jika diperlukan, peneliti dapat melakukan simulasi dengan melakukan observasi terhadap variable yang akan diteliti pada sejumlah subjek yang sedikit dan kemudian hasilnya dianalisis. Hal itu dimaksudkan agar hasil observasinya sesuai dengan kebutuhan data yang akan dianalisis dan tidak terjadi pengumpulan data yang sebenarnya tidak diperlukan.
i. Kesembilan, jika diperlukan, gunakan symbol-simbol tertentu yang sederhana, tidak mendua arti guna memudahkan pengamat dalam mecatat hasil observasinya.
j. Kesepuluh, bila memungkinkan, gunakan alat bantu untuk mencatat atau merekam hal-hal yang akan diobservasi untuk kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk yang sesuai dengan kebutuhan analisis data.
k. Kesebelas, identifikasi hal-hal yang mungkin terjadi di luar observasi yang direncanakan dan bagaimana cara untuk menganalisisnya.

Menurut Kartini Kartono
Dalam observasi eksperimental orang dengan sengaja bisa me ngubah kondisi-kondisinya dan mengulangi berkali-kali istiwanya, agar bisa ditimbulkan variabel-variabel tertentu. ngan sengaja pula proses gejala-gejalanya diusahakan agar bisa :endalikan dan dikontrol. Sehubungan dengan inilah maka reservasi eksperimental ini disebut pula sebagai observasi ter¬control.
Demi kecermatan observasi, maka digunakan alat-alat bantu berupa pesawat-pesawat pencatat, film, alat potret, alat perekam, dan pesawat-pesawat mekanik lainnya. Demikian pula prosedur pelaksanaannya pada umumnya telah dilakukan. Oleh karena itu observasi macam ini banyak dilakukan dalam laborarotium¬-laboratorium ilmiah, klinik-klinik khusus, ruang-ruang penelitian ilmiah di perguruan linggi yang mengadakan penyelidikan ter¬hadap gejela-gejala kealaman dan fenomena sosial yang sederhana (tidak kompleks) dengan jalan pengetesan secara cermat.
Kita memaklumi, bahwa data sosial yang konkrit, yang diper¬oleh dari kehidupan sehari-hari itu sifatnya sangat kompleks, tidak mudah diukur, dan hakekatnya sukar dimengerti. Situasi kehidupan manusia yang riil, yang bisa diteliti dalam kondisi terkontrol atau dalam kondisi artifisiil (seperti dimaksudkan dalam kondisi atau situasi laboratorium dan ruang-ruang studi ilmiah) itu sangat jarang adanya. Maka observasi gejala sosial itu benar-benar berlangsung di tengah kesibukan dan dinamika setting-kultural, di tengah matrix-sosial yang riil. Sehubungan dengan ini, kondisi dan situasinya biasanya tidak bisa di¬kontrol.
Maka observasi terhadap gejala sosial di tengah kesibukan hidup sehari-hari itu disebut• pula sebagai observasi tidak ter¬kontrol, karena kondisi dan situasinya tidak bisa dikendalikan oleh para observer, untuk kemudian dilakukan pengontrolan terhadapnya. Untuk keperluan observasi ini orang tidak mengguna¬kan pesawat-pesawat presisi guna mengecek ketelitian gejalanya. Lagi pula. akal budi manusia belum mampu menciptakan alat-alat presisi untuk mengecek gejala-gejala sosial secara eksak. Maka untuk mepelajari fenomena sosial orang menggunakan teknik observasi partisipatif; sungguhpun teknik ini mengandung banyak kelemahannya pula yang akan diuraikan lebih lanjut.
Dalam observasi terhadap gejala-gejala sosial itu diperlukan sekali sikap apresiatif (mampu menghargai) pada pihak observer; yaitu sikap apresiatif terhadap segenap konteks sosio-kultural, dengan mana ia-mampu mengerti kedudukan dan hakekat sub¬unit sosial (faktor-faktor, variabel-variabel, segmen-segmen, onderdil-onderdil sosial. dan lain-lain) di dalam. totalitas konteks¬nya. Sikap apresiatif ini diperlukan sekali urtuk mengurangi jarak mental dan jarak social diantara observe dan para observe sebab jarak mental yangn terlampau besar sering kali menghambat pelaksanaan observasi. Disamping perlunya memperoleh data kuantitatif yang cukup besar jumlahnya, diperlukan sekali adanya insight yang tajam dan pengertian yang mendalam mengenai gejala yang diteliti sehingga diperlukan studi yang sangat intensif.
Suatu observasi yang cermat itu tidak hanya mencakup pen¬,caatan secara akurat mengenai situasi sosial saja, namun penting pd a peranan penetrasi mental guna menembus ' 'hakekat" gejala Penetrasi di sini diartikan: mampu mener bus fenomena¬i ia, bahkan mampu menembus di balik bendanya (to penetrate behind the things). Mampu mengerti apa yang tersirat di balik pikiran, di balik perasaan dan tingkah laku sjatu kelompok sosial; mampu "mengindrai" (to sense) atmosfu--sosial dengan kompleksitas interrelasinya. Ya, mampu menga(lakan penetrasi anpai pada "inner sanctum" dari gejalanya (inner; inti, bagian dalam; Sanctum: makdis, heiligdom, bagian yang dianggap suci). Dengan daya penetrasi dan wawasan orang baru nlampu memasti¬kan derajat dan sifat-sifat hakiki dari fenomena sosial yang tengah diamati.
Banyak peneliti sosial kawakan yang hares "belajar kembali dari semula" proses pengidentifikasian dirinya terhadap kelompok osial yang akan ditelitinya, karena masalahnya begitu asing dan 'are sama sekali baginya. Identifikasi-diri ini perlu untuk mem¬)erpendek jarak-sosial, dengan mana dia bisa melakukan studi rang intensif dari jarak dekat. Namun sebaliknya, bila peneliti erlampau intim-akrab dengan gejala sosial yang akan ditelitinya, riaka ada kemungkinannya bahwa dia tidak cermat lagi diferensiasi dari gejala-gejala tadi sebagai akibat dari proses daptasi; sehingga terjadi kebutaan sosial/psikis, karena ia tidak mampu mengadakan distansi, dan tidak sanggup la gi mengamati ejalanya secara obyektif. Yaitu sebagai akibat dari proses adap¬isi, sehingga terjadi kebutaan-sosial/psikis. Atau, dia akan mem¬erikan interpretasi yang sesuai dengan latar-belakang pengalaman ribadi, dengan latar belakang edukatif dan kultural sendiri.
gejala sosial dan subyek manusia sebagai manusia atau alas belaka bagi tujuan penelitian ilmiah, atau demi interest (di luar diri sendiri) diri pribadi.
Sehubungan dengan arti ini hendaknya dimaklumi oleh para observe bahwa :
1. Setiap anggota suatu kelompok social itu merupakan nilai-nilai social ( social Values ) bagi sesamanya.
2. Interrelasi para anggota itu sangat bervariasi, amat kompleks, dinamis, cepat sering berubah-ubah dan mempunyai arti sendiri dalam matrix sosialnya.
Didalam proses pelaksanaan observasi disamping pentingnya penguasaaan teknik pengumpulan data dan penggunaan pesawat-pesawat mekanis sebagai alat Bantu, sangat perlu diperhatikan nasehat-nasehat dibawah ini :
1o
2° Gejala sosial dan subyek sosial (manusia) itu masing-masing
mempunyai nilai, martabat, dan sendiri-sendiri dalam
konteks sosial.
3° Dalam pelaksanaan observasi, sikap yang sangat toleran,
sabar dan berpegang pada prinsip-prinsip ilmiah itu masih perlu didukung oleh rasa simpati yang tulen terhadap subyek lain.
4° Hendaknya kita jangan melanggar norma-norma dan tata¬aturan yang normal dari kelompok sosial yang tengah diteliti.
5° Demi suksesnya observasi dan penelitian di samping sikap ilmiah yang "dingin" (cold scientific attitude) itu diperlu¬kan pula sikap yang terbuka, simpatik dan apresiatif. Hanya 'dengan sikap sedemikian inilah kita bisa sampai dan bisa menembus inti pemasalahannya.
Jelaslah kini, bahwa dalam pelaksanaan teknik observasi ini rrlu diperhatikan dua faktor yang intern dan ekstern sifatnya. yang intern ialah: keseimbangan-keharmonisan sikap mental peneliti. Sedang faktor yang ekstern ialah: fragmen-fragmen, 'ebagai akibat dari segmentasi terhadap tingkah laku/gejala sosial, yaitu berupa faktor 'atau variabel-variabel yang "terpotong¬potong" (sebagai hasil observasi), dalam bentuknya yang sangat "mini" tadi harus dire konstruksikan kembali dalam satu kesatuan rerintegrasi yang lebih besar, agar kita benar-benar bisa memahami {kkekat dan arti suatu gejala sosial yang tidak bisa dikendalikan fan dikontrol sepenuhnya oleh peneliti.
Menurut Hartini :
Petunjuk-petunjuk yang dapat dipertimbangkan untuk melakukan observasi yang efektif adalah sebagai berikut :
1. Yang harus dilakukan untuk melakukan observasi, hal-hal yang harus dilakukan :
a. Rencanakan terlebih dahulu observasi yang akan dilakukan, meliputi :

- • Apa yang akan diobservasi
- • Dimana letak lokasi observasi
- • Kapan observasi akan dilakukan
- • Siapa yang akan melaksanakan observasi tersebut
- • Siapa yang akan diobservasi
- • Bagaimana melaksanakan observasi tersebut.
b. Mintalah ijin terlebih dahulu dari manajer dan atau pegawai yang terlibat
c. Bertindaklah dengan rendah hati (low profile)
d. Lengkapilah dengan catatan selama observasi
e. kaji ulang hasil observasi dengan individu-individu yang terlibat.

2. Yang tidak boleh dilakukan, yaitu :
a. Menggangu kerja individu yang diobservasi maupun individu lainnya.
b. Terlalu menekankan pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak penting.
c. Jangan membuat asumsi-asumsi.


D. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN TEKNIK OBSERVASI

Menurut Lerbin R. Aritonang R.
Observasi tidak bergantung pada laporan sendiri. Artinya, datanya tidak diberikan sendiri oleh subjek, seperti dalam wawancara. Dengan demikian, kelemahan metode lain yang menggunakan laporan sendiri dapat teratasi. Selain itu, melalui observasi dapat diamati secara langsung ekspresi dari subjek yang tidak mungkin diperoleh melalui metode angket. Hal itu dimungkinkan karena pengamat dapat secara langsung melihat ekspresi dari subjeknya. Metode observasi juga memungkinkan pencatatan secara sekaligus variable yang muncul pada waktu yang bersamaan.
Selain keunggulan di atas, observasi juga memiliki kelemahan.
1. Pertama, observasi sulit digunakan sebagai metode pengumpulan data bila variable yang diobservasi terjadi secara periodic dan dalam waktu yang lama
2. Kedua, jika subjek diamati secara langsung oleh pengamat, subjek mungkin akan berperilaku sedemikian rupa untuk menyenangkan pengamat sehingga data yang diperoleh tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya
3. Ketiga, tidak semua variable dapat diobservasi secara langsung, seperti kehidupan pribadi subjek
Selain kelemahan observasi yang dikemukakan diatas, ada tiga kesesatan yang mungkin terjadi dan perlu diperhatikan dalam melaksanakan observasi, khususnya bila observasi itu dilakukan oleh manusia (hadi,1992).
a. Pertama, halo effects. Kesulitan ini terjadi karena pengamat cenderung dipengaruhi oleh kesan pertamanya terhadap subjek/variable yang diobservasi. Kesan pertama itu dapat berpengaruh terus selama observasi berlangsung dan pada hasil observasi yang diperoleh.
b. Kedua, keinginan pengamat untuk memberikan penilaian yang cenderung baik jika ia ragu-ragu atas hasil observasinya. Ini dipandang sebagai sifat umum manusia.
c. Ketiga, carry-over effects. Kesesatan ini terjadi karena pengamat tidak dapat memisahkan satu kejadian dari kejadian lain yang diobservasinya sehingga jika satu kejadian timbul dalam keadaan yang baik, maka kejadian yang lain cenderung dicatat juga dalam keadaan yang baik.

Menurut Kartini Kartono :
• Keunggulan teknik observasi antara lain ialah:
1) Merupakan alat yang murah, mudah dan langsung/direct guna mengadakan penelitian terhadap macam-macam gejala. Tidak sangat bergantung pada laporan-diri/self-report dari observee.
2) Para observee yang sangat sibuk pada umumnya tidak berke, beratan jika is diamati. Biasanya is akan berkeberatan jika diminta untuk mengisi daftar pertanyaan-pertanyaan angket, atau berkeberatan untuk diinterview, disebabkan oleh ke¬sibukannya.
3) Banyak peristiwa psikis penting yang tidak mungkin bisa di¬peroleh dengan teknik kuestioner dan interview bisa diamati dengan observasi langsung.
4) Dimungkinkan mengadakan pencatatan secara serempak dengan menggunakan observer lebih dari seorang, yang te¬rampil dalam pemakaianalat-alat pencatatan dan alat-alat mekanis.
b) Kelemahan metode observasi antara lain ialah:
a. Banyak peristiwa psikis bertaraf tinggi ternyata tidak bisa di¬observasi, misalnya: rasa cinta, intuisi, simpati, harapan, ke¬adilan, kejujuran, masalah-masalah yang sifatnya rahasia dan sangat pribadi, dan lain-lain.
b. Sering diperlukan waktu yang lama, sehingga proses mehunggu jadi sangat membosankan. Yaitu menanti munculnya tingkah¬laku yang stereotipis atau perilaku penyimpangan-penyimpang¬an psikis tertentu. Sebabnya ialah: karena orang tidak bisa meramalkan dengan pasti kapan timbulnya tingkah laku ter¬sebut. Beberapa tingkah laku muncul sesekali dalam jangka waktu bertahun-tahun; beberapa gejala lain berlangsung dalam waktu yang relatif sangat pendek, timbul secara beruntun, atau berlangsung secara serempak di beberapa tempat.
c. Karena observee menyadari bahwa is tengah diamati, dengan sengaja is menim bulkan kesan-kesan yang menyenangkan atau justru menimbulkan kesan-kesan yang tidak menyenang¬kan. Sehingga situasi dan sifatnya jadi dibuat-buat atau arti¬fisial.
d. Observasi itu banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak bisa dikontrol. Lagi pula subyektivitas observer sering tidak bisa dihindari.
e. Kesalahan-kesalahan clisebabkan oleh pertimbangan yang Yl;; sangat subyektif dan penghakiman, berdasarkan standard kebudayaan sendiri serta pengalaman pribadi terhadap penam¬pakan-luar dari suatu gejala atau kelompok sosial.
f. Kesalahan karena observasi berlangsung secara tergesa-gesa, dan kurang menggunakan wawasan jernih.
Observasi terkontrol atau sisternatis itu ada kalanya cenderung menjadi atomistis dan artifisial sifatnya; namun demikian teknik ini biasanya menghasilkan data dan informasi yang akurat. Sedang observasi yang tidak terkontrol akan menyajikan kespontanan, kemurnian alarniah dari gejala-gejala sosial, serta data yang serba kbinplit. Namun laporan dan penganalisaan faktanya tidak •bisa eksak dan presis. Oleh sebab itu akan bijaksanalah sikap kita apabila bisa mengkombinasikan "elemen-elemen yang paling balk" dari kedua teknik tadi. Khususnya untuk teknik observasi tidak terkontrol hendaknya didukung oleh statistik dalam pengeterbatasan datanya.
Demi cermatnya hasil observasi, maka peneliti perlu meng¬tidarkan penggunaan emosi yang meluap-luap dan prasangka¬prasangka prasangka yang stereotipis, terutama bila orang tengah mengamati peristiwa-peristiwa yang menyolok dan dramatis. Umpama waktu mengamati peristiwa demonstrasi politik, pemogokan, ribelli / pemberontakan, bencana slam, dan lain-lain. Perlu pula diperhati¬kan sekali lagi, bahwa variabel-variabel dan fragmen-fragmen yang dilepaskan dari konteks kulturalnya itu (sebagai hasil analisa peng¬amatan), perlu di-rekonstruksikan kembali dalam totalitas dan integritas kesatuannya yang lebih besar. Selanjutnya berhasilnya observasi itu sangat bergantung pada faktor-faktor pribadi dari penelitinya sendiri, yaitu antara lain:
1. fisik cukup sehat;
2. memiliki kemampuan intelektual untuk mengadakan peng¬amatan yang tajam, penganalisaan yang. tepat, dan peng¬gunaan alat-alat pencatatan yang akurat;
3. sikap yang terbuka, apresiatif, dan memiliki keseimbangan sikap mental, untuk memahami hakekat permasalahannya.

Menurut Hartini:
Observasi mempunyai beberapa kebaikan dan juga kekurangan dibandingkan
dengan teknik pengumpulan data lainnya.
Kebaikan dari observasi adalah sebagai berikut :
a. Data yang dikumpulkan melalui observasi cenderung mempunyai keandalan yang tinggi. Kadang observasi dilakukan untuk mengecek validitas dari data yang telah diperoleh sebelumnya dari individu-individu.
b. Dapat melihat langsung apa yang sedang dikerjakan, pekerjaan-pekerjaan yang rumit kadang-kadang sulit untuk diterangkan.
c. Dapat menggambarkan lingkungan fisik dari kegiatan-kegiatan, misalnya tatam letak fisik peralatan, penerangan, gangguan suara dan lain-lain.
d. Dapat mengukur tingkat suatu pekerjaan, dalam hal waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu unit pekerjaaan tertentu.

Sedangkan kekurangannya adalah sebagai berikut :
a. Umumnya orang yang diamati merasa terganggu atau tidak nyaman, sehingga
b. akan melakukan pekerjaannya dengan tidak semestinya.
c. Pekerjaan yang sedang diamati mungkin tidak mewakili suatu tingkat kesulitan
d. pekerjaan tertentu atau kegiatan-kegiatan khusus yang tidak selalu dilakukan
e. atau volume-volume kegiatan tertentu.
f. Dapat mengganggu proses yang sedang diamati.
g. Orang yang diamati cenderung melakukan pekerjaannya dengan lebih baik dari
h. biasanya dan sering menutup-nutupi kejelekan-kejelekannya.

wawancara

WAWANCARA

Salah satu metode pengumpulan data adalah dengan jalan wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden. Cara inilah yang banyak dilakukan di Indonesia belakangan ini.
Wawancara merupakan salah satu bagian terpenting dari setiap survey. Tanpa wawancara, peneliti akan kehilangan informasi yang hanya dapat diperoleh dengan jalan bertanya langsung kepada responden. Data semacam itu merupakan tulang punggung suatu penelitian survey.

A. Pengertian Wawancara
Yang dimaksud dengan wawancara menurut Nazir (1988) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).
Walaupun wawancara adalah proses percakapan yang berbentuk tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu proses pengumpulan data untuk suatu penelitian. Beberapa hal dapat membedakan wawancara dengan percakapan sehari-hari adalah antara lain:
• Pewawancara dan responden biasanya belum saling kenal-mengenal sebelumnya.
• Responden selalu menjawab pertanyaan.
• Pewawancara selalu bertanya.
• Pewawancara tidak menjuruskan pertanyaan kepada suatu jawaban, tetapi harus selalu bersifat netral.
• Pertanyaan yang ditanyakan mengikuti panduan yang telah dibuat sebelumnya. Pertanyaan panduan ini dinamakan interview guide.

Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematis dan berlandaskan kepada tujuan penelitian (Lerbin,1992 dalam Hadi, 2007). Tanya jawab ‘sepihak’ berarti bahwa pengumpul data yang aktif bertanya, sermentara pihak yang ditanya aktif memberikan jawaban atau tanggapan. Dari definisi itu, kita juga dapat mengetahuibahwa Tanya jawab dilakukan secara sistematis, telah terencana, dan mengacu pada tujuan penelitian yang dilakukan.
Pada penelitian, wawancara dapat berfungsi sebagai metode primer, pelengkap atau sebagai kriterium (Hadi, 1992). Sebagai metode primer, data yang diperoleh dari wawancara merupakan data yang utama guna menjawab pemasalahan penelitian. Sebagai metode pelengkap, wawancara berfungsi sebagai sebagai pelengkap metode lainnya yang digunakan untuk mengumpulkan data pada suatu penelitian. Sebagai kriterium, wawancara digunakan untuk menguji kebenaran dan kemantapan data yang diperoleh dengan metode lain. Itu dilakukan, misalnya, untuk memeriksa apakah para kolektor data memeang telah memperoleh data dengan angket kepada subjek suatu penelitian, untuk itu dilakukan wawancara dengan sejumlah sample subjek tertentu.
Mengenai latar belakang pengguanaan wawancara sebagai metode pengumpulan data pada suatu penelitian, pendapat Allport ( dalam Hadi, 1992) berikut perlu dipertimbangkan: “If we want to know how people feel, what their experience and what they remember, what their emotions and motives are like, and the reasons for acting as they do – why not ask them?” Dari pendapat itu, kita mengetahui bahwa wawancara dapat atau lebih tepat digunakan untuk memperoleh data mengenai perasaan, pengalaman dan ingatan, emosi, motif, dan sejenisnya secara langsung dari subjeknya.
Charles Stewart dan W. B. Cash mendefinisikannya sebagai “sebuah proses komunikasi berpasangan dengan suatu tujuan yang serius dan telah ditetapkan sebelumnya yang dirancang untuk bertukar perilaku dan melibatkan tanya jawab”
Robert Kahn dan Charles Channel mendefinisikan wawancara sebagai “suatu pola yang dikhususkan dari interaksi verbal – diprakarsai untuk suatu tujuan tertentu, dan difokuskan pada sejumlah bidang kandungan tertentu, dengan proses eliminasi materi yang tak ada kaitannya secara berkelanjutan”.
Karena kata “mewawancarai” dalam penggunaan sehari-hari mengacu pada begitu banyak jenis interaksi yang berbeda-beda, sulit untuk menulis satu definisi yang mampu mengakomodasi semuanya. Meskipun demikian, penting bagi kita untuk menetapkan sebuah definisi mendasar sebagai sebuah kerangka acuan. Oleh karenanya, kami mendefinisikan wawancara sebagai suatu bentuk yang dikhususkan dari komunikasi lisan dan bertatap muka antara orang-orang dalam sebuah hubungan interpersonal yang dimasuki untuk sebuah tujuan tertentu yang diasosiasikan dengan pokok bahasan tertentu. Pembahasan mengenai beberapa istilah kunci dari definisi ini akan menjadikannya lebih bermakna.
Wawancara adalah suatu proses interaksi dan komunikasi. Dalam proses ini, hasil wawancara ditentukan oleh beberapa faktor yang berinteraksi dan mempengaruhi arus informasi. Faktor-faktor tersebut ialah: pewawancara, responden, topik penelitian yang tertuang dalam daftar pertanyaaa, dan situasi wawancara.
Pewawancara diharapkan menyampaikan pertanyaan kepada responden, merangsang responden untuk menjawabnya, menggali jawaban lebih jauh bila dikehendaki mencatatnya. Bila semua tugas ini tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya maka hasil wawancara menjadi kurang bermutu. Syarat menjadi pewawancara yang baik ialah ketrampilan mewawancarai, motivasi yang tinggi, dan rasa aman, artinya tidak ragu dan takut untuk menyampaikan pertanyaan.
Demikian pula responden dapat mempengaruhi hasil wawancara karena mutu jawaban yang diberikan tergantung pada apakah dia dapat menangkap isi pertanyaan dengan tepat serta bersedia menjawabnya dengan baik.



B. Jenis Wawancara
Sebagaimana metode lainnya yang digunakan pada penumpulan data, metode wawancara dibedakan berdasarkan cara pengadministrasiannya menjadi wawancara pribadi (Lerbin, 2007). Wawancara pribadi dapat dilakukan di rumah subjek, melalui komputer, dan di tempat perbelanjaan. Wawancara yang dilakukan di tempat perbelanjaan itu sering disebut wawancara mall intercept.
Contoh wawancara pribadi:
Pewawancara(P): Apakah Anda sudah pernah merasakan donat J.Co?
Subjek(S) : Sudah pernah.
P : Bagaimana pendapat Anda tentang cita rasa donat tersebut?]
S : Menurut saya donat tersebut enak, empuk, tidak terlalu manis, dan jenisnya beraneka ragam.
P : Seberapa sering Anda mengkonsumsi donat tersebut?
S : Sekitar tiga minggu sekali.
P : Kapan terakhir kali Anda mengkonsumsinya?
S : Dua minggu yang lalu.

Berdasarkan strukturnya, wawancara dibedakan menjadi wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Pada wawancara terstruktur, hal-hal yang akan ditanyakan telah terstruktur, telah ditetapkan sebelumnya secara rinci. Pada wawancara tak terstruktur, hal-hal yang akan ditanyakan belum ditetapkan secara rinci. Rincian dari topik pertanyaan pada wawancara yang tak terstruktur disesuaikan dengan pelaksanaan wawancara di lapangan.
Contoh wawancara terstruktur:
P : Apakah Anda mengetahui tentang peristiwa kebakaran yang terjadi di komplek pertokoan ini yang baru terjadi kemarin?
S : Iya
P : Kapan peristiwa kebakaran tersebut terjadi?
S : Sekitar pukul 20.30 WIB.
P : Di mana Anda berada saat kebakaran terjadi?
S : Saya berada di dalam toko saya yang berjarak 300m dari kebakaran tersebut.
P : Bagaimana tindakan Anda begitu mengetahui peristiwa tersebut?
S :Langsung menelpon petugas pemadam kebakaran dan menyelamatkan berkas-berkas penting serta barang berharga lainnya.
Contoh wawancara tidak terstruktur:
P : Apakah Anda mengetahui akan tawuran antar pelajar SMA yang baru saja terjadi di kota ini?
S : Iya
P : Anda mengetahui peristiwa tersebut dari mana?
S : Dari teman saya.
P : Apakah teman Anda melihat langsung kejadian tersebut?
S : Iya, ia sedang melintas daerah tersebut saat tawuran terjadi.
P : Apakah teman Anda ketakutan ketika melihat peristiwa tersebut atau malah mendekat ke lokasi?
S : Ia malah mendekat ke lokasi dan sempat mengambil beberapa foto kejadian tersebut.

Hal yang dijelaskan pada metode angket banyak berkaitan secara langsung dengan metode wawancara karena wawancara sendiri memang dapat dipandang sebagai bentuk lain dari angket, khususnya dari segi pengadministrasiannya. Sejalan dengan itu, banyak hal-hal yang dijelaskan pada metode angket dapat juga dugunakan pada pelaksanaaan wawancara, terutama mengenai pengembangan hal-hal yang akan diungkap atau ditanyakan.

C. Hubungan dengan Orang yang Diwawancara
Keberhasilan suatu wawancara sangat ditentukan oleh bagaimana hubungan antara subjek dan pewawancara (Lerbin,2007). Suasana hubungan yang kondusif (disebut juga sebagai rapport) untuk keberhasilan suatu wawancara mencakup adanya sikap saling mempercayai dan kerja sama di antara mereka. Suasana yang demikian dapat diusahakan melalui beberapa cara, diantaranya pewawancara sebaiknya lebih dulu memperkenalkan diri dan mengemukakan secara jelas dan lugas tujuan wawancara yang akan dilakukannya. Hal itu dilakukan dengan sikap rendah hati dan bahwa yang berkepentinagan adalah pewawancara. Pada awal pertemuan, pewawancara juga harus menciptakan suasana yang santai dan bebas serta tidak formal agar proses wawancara dapat berlangsung secara lebih alamiah.
Pewawancara sebaiknya mengawali pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ‘pemanasan’ sebagai pendahuluan, sekalipun pertanyaan itu mungkin tidak berkaitan langsung dengan tujuan penelitian. Kemudian, secara perlahan-lahan, pewawancara mengarahkan pembicaraan pada tujuan penelitian. Hal itu dilakukan untuk memperlancar proses wawancara. Hal-hal yang ditanyakan pada pendahuluan itu sebaiknya adalah hal-hal yang menarik minat subjek. Dalam keadaan yang demikian, penggunaan ‘bahasa ibu’ dari subjek mungkin akan sangat membantu.
Pada pelaksanaan wawancara, pewawancra jangan menunjukkan sikap tidak percaya terhadap dan kurang menghargai jawaban yang diberikan subjek dan ajngan menunjukkan siakp yang tergesa-gesa. Adakalanya subjek mengalami blocking, pikirannya ‘tersumbat’ sehingga proses wawancara tidak berjalan dengan lancar. Dalam keadaan yang demikian, pewawancara harus dapat membantu subjek untuk keluar dari keadaan itu. Itu dapat dilakukan, misalnya denagn mengalihkan topik pembicaraan ke topik lain untuk sementara waktu.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh pewawancara adalah bahwa ia harus dapat memahami keadaan subjek, ia harus memiliki empati. Dengan cara yang demikain, pewawancara akan lebih dapat mengarahkan wawancara sesuai dengan kondisi subjek.
Suatu hal yang penting dalam wawancara adalah si pewawancara dapat mengganti subjeknya (Nazir, 1988). Jika seorang responden misalnya tidak ingin memberikan keterangan tentang suatu hal, maka peneliti dapat pindah mencari responden lain. Tidak demikian halnya dalam pengamatan langsung. Karena itu, si peneliti harus dapat mencari jalan supaya pengamatan terhadap kejadian yang ingin diamati tidak boleh gagal.
Sebelum pewawancara turun untuk melaksanakan wawancara, maka dia harus lebih dahulu memeutuskan apakah ia akan memperkenalkan dirinya sebagai peneliti, ataukah ia akan bekerja sebagai incognito. Tetapi, pengalaman memprlihatkan bahwa sebaiknya si peneliti atau pewawancara memperkenalkan dirinya sebagai peneliti kelompok objek. Hal ini memberikan beberapa keuntungan antara lain:
• Hal tersebut adalah hal yang sederhana untuk dilakukan, karena dengan pemunculan orang asing secara tiba-tiba dapat menimbulkan kecurigaan.
• Akan mempertinggi kemungkinan memperoleh keterangan yang diinginkan.
• Jika ia bekerja secara incognito, maka ada perasaan kesalahan secara etika dalam diri si peneliti dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh objek yang sedang diteliti.
Yang paling penting dalam hal hubungan antara pengamat denagn yang diamati adalah si pengamat harus dapat meyakinkan objek atau harus dapat memberikan alasan-alasan yang tepat mengapa ia harus mengadakan pengamatan terhadap perilaku atau fenomena yang ingin diamati. Dalam partisipasi langsung untuk pengamatan kejadian atau fenomena maka adalah sangat penting bagi si peneliti untuk membuat dirinya dapat diterima dalam anggota kelompok di mana pengamatan akan dilakukan.

D. Pelatihan Wawancara
Latihan wawancara dilakukan untuk memberikan bekal keterampilan kepada pewawancara untuk mengumpulkan data dengan hasil baik. Karena tidak ada ukuran standar untuk survey ataupun pewawancara, maka tidak ada pula program latihan yang baku. Sifat, materi, dan lamanya program latihan disesuaikan dengan kebutuhan survey yang akan dilakukan. Misalnya tergantung pada jumlah dan kualitas pewawancara, waktu yang disediakan, mudah atau sukarnya kuisioner yang harus dipelajari dan juga besarnya anggaran yang tersedia (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989). Pada prinsipnya yang harus diberikan selama masa pelatihan formal adalah:
a. penjelasan tujuan penelitian
b. penjelasan tujuan tugas pewawancara dan menekankan pentingnya peranan pewawancara
c. penjelasan tiap nomor pertanyaan dalam kuisioner, baik konsep yang terkandung di dalamnya maupun tujuan pertanyaan tersebut. Pewawancara harus mengetahui dengan tepat maksud semua pertanyaan, agar dapat mengumpulkan informasi yang tepat dan jelas.
d. Penjelasan cara mencatat jawaban responden.
e. Penjelasan cara pengisian dan arti dari semua tanda-tanda pengisian kuisioner.
f. Pengertian yang mendalam mengenai pedoman wawancara, untuk mengurangi sejauh mungkin kegagalan dalam mendekati responden. Pedoman wawancara mencakup etika, sikap, persiapan, dan taktik wawancara.
g. Prosedur wawancara, dari mulai memperkenalkan diri sampai dengan meninggalkan respponden.
h. Orientasi tentang masalah apa yang dapat timbul di lapangan dan bagaimana mengatasinya.
i. Latihan wawancara
j. Diskusi tentang masalah latihan wawancara tersebut.

Pelatihan biasanya diarahkan pada cara-cara berkomunikasi dan cara memperoleh informasi secara lebih mendalam serta cara-cara untuk menciptakan suasana wawancara yang kondusif untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu, cara untuk melakukan pencatatan jawaban subjek juga perlu dilatih, terutama mengenai hal-hal apa saja yang perlu dicatat dan tidak. Hal lain yan gperlu ditekankan pada pelatihan adalah kewajiban pewawancara untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan meminta maaf apabila ada hal-hal yang tidak berkenan selama wawancara berlangsung dan meminta kesediaan subjek untuk diwawancara kembali seandainya masih diperlukan.
Pada pelatihan juga perlu ditekankan agar pewawancara memeriksa kelengkapan maupun kejelasan jawaban atas tiap pertanyaan yang diberikan oleh subjek sebelum mengakhiri wawancara. Pewawancara perlu dilatih untuk agar bersikap faktual, tidak menggunakan sudut pandang pewawancara untuk melakukan penilaian atas jawaban subjek.
Pada pelatihan yang berkaitan dengan cara pencatatan jawaban subjek, pencatatan sebaiknya dilakukan dengan segera, tapi jangan sampai menimbulkan kesan yang tidak baik bagi subjek. Hasil pelatihan terhadap pewawancara sebaiknya diujicobakan terlebih dahulu untuk memperoleh umpan balik guna memperbaiki kualitasnya. (Lerbin R. Aritonang, 2007)

Pewawancara pada suatu penelitian dapat terdiri atas suatu atau beberapa orang. Wawancara itu seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang telah terlatih. Hal itu terutama dibutuhkan pada wawancara mendalam dan wawancara kelompok focus. Pewawancara itu biasanya dipilih dari orang-orang yang memiliki disiplin psikologi yang telah memperoleh pelatihan tambahan pada waktu kuliah (Lerbin, 2007).
Pelatihan biasanya diarahkan pada cara-cara berkomunikasi dan cara memperoleh informasi secara lebih mendalam serta cara-cara untuk menciptakan suasana wawancara yang kondusif untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu, cara untuk melakukan pencatatan jawaban subjek juga perlu dilatih, terutamamengenai hal-hal apa saja yang perlu dan tidak perlu untuk dicatat, bagaimana cara mencatatnya dengan mudah, dan dalam keadaan yang bagaimana pencatatan dilakukan. Hal lain yang perlu ditekankan pada pelatihan adalah kewajiban pewawancara untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan meminta maaf seandainya ada hal-hal yang tidak berkenen selama wawancara berlangsung serta meminta kesediaan subjek untuk diwawancarai kembali seandainya masih diperlukan.
Dalam mengajukan pertanyaan, pewawancara jangan bersikap seperti polisi, hakim ataupun pihak yang paling mengetahui mengenai topic yang dijelaskan. Demikian juga dengan nada bicara pewawancara. Dalam keadaan tertentu, pewawancara perlu juga dilatih mengenai cara-cara mendorong subjek untuk memberikan jawaban maupun mengorek lebih mendalam informasi yang dibutuhkan, termasuk motivasi subjek serta kejelasan maksud dari subjek atas jawaban yang diberikannya.
Pada pelatihan perlu juga ditekankan agar pewawancara memeriksa kelengkapan maupun kejelasan jawaban atas tiap pertanyaan yang diberikan oleh subjek sebelum mengakhiri wawancara. Pada wawancara, pewawancara sering kali harus memberikan penilaian sendiri atas jawaban yang diberikan subjek. Sehubungan dengan itu, pewawancara perlu dilatih agar bersikap factual, tidak menggunakan sudut pandang pewawancara untuk melakukan penilaian atas jawaban subjek.
Pada pelatihan yang berkaitan dengan cara pencatatan jawaban subjek, pencatatan sebaiknya dilakukan dengan segera, tetapi jangan sampai menimbulkan kesan yang tidak baik bagi subjek. Hasil pelatihan terhadap pewawancara sebaiknya diujucobakan lebih dulu untuk memperoleh umpan balik guna memperbaiki kualitasnya.
Wawancara dilakukan setelah persiapan, untuk itu dimantapakan. Dalam persiapan wawancara, sampel responden, kriteria-kriteria responden, pewawancara, serta interview guide, telah disiapkan dahulu (Nazir, 1988).
Interview guide sudah harus disusun dan pewawancara harus mengerti sekali akan isi serta makna dari interview guide tersebut. Segala pertanyaan yang ditanyakan haruslah tidak menyimpang dari panduan yang telah digariskan dalam interview guide tersebut. Latihan wawancara harus diadakan sebelum wawancara diadakan.
Umumnya pewawancara memegang peranan yang amat penting dalam memulai wawancara. Pewawancara harus dapat menggali keterangan-keterangan dari responden, dan harus dapat merasa serta membawa responden untuk memberikan informasi, baik dengan jalan:
1. membuat responden merasa bahwa dengan memberikan keterangan tersebut responden telah melepaskan kepuasannya karena suatu tujuan tertentu telah tercapai.
2. menghilangkan pembatas antara pewawancara dan responden sehingga wawancara dapat berjalan lancar.
3. keterangan diberikan karena kepuasannnya bertatap muka dan berbicara dengan pewawancara.
Umumnya urutan-urutan prosedur dalam memulai wawancara adalah sebagai berikut:
a. menerangkan kegunaan serta tujuan dari penelitian.
b. Menjelaskan mengapa responden terpilih untuk diwawancarai.
c. Menjelaskan institusia atau badan apa yang melaksanakan penelitian tersebut.
d. Menerangkan bahwa wawancara tersebut merupakan suatu hal yang confidensial.

Penjelasan tentang kegunaan dan tujuan penelitian dapat memberikan motivasi kepada responden untuk berwawancara. Kesangsian responden serta rasa curiga tentang keterlibatan atau pemilihan responden untuk menjawab pertanyaan dapat dihilangkan dengan menjelaskan bagaimana caranya dan mengapa responden yang bersangkutan terpilih sebagai responden. Penjelasan tentang institusi atau badan yang melaksanakan penelitian dapat membuat responden percaya bahwa keterangan-keterangan yang diberikan akan digunakan untuk keperluan yang objektif pula. Sifat wawancara yang konfidensial akan lebih mendorong responden untuk memberikan keterangan tanpa sembunyi-sembunyi dan mendorong responden memberikan keterangan secara jujur.
Kelancaran wawancara sangat dipengaruhi oleh adanya rapport. Rapport adalah suatu situasi di mana telah terjadi hubungan psikologis antara pewawancara dan responden, di mana rasa curiga responden telah hilang; antara responden dan pewawancara terjalin suasana berkomunikasi secara wajar dan jujur. Rapport adalah suasana atau atmosfir yang wajar dalam berbincang-bincang, bukan sesuatu yang dibuat-buat atau yang ditanamkan ke dalam suatu wawancara. Jika wawancara dimulai dengan “Assalamualaikum” atau selamat pagi, kemudian menanyakan keadaan anak-anak dan sebagainya, belum tentu rapport sudah ada. Rapport adalah hubungan yang mendalam, seperti keterbukaan, toleransi, ramah, dan pengertian dan sebangsanya dalam proses wawancara. Cara berpakaian, cara menggunakan kata-kata, sikap hormat dan ramah tamah serta sifat tidak sok dari pewawancara dapat menghasilkan suatu rapport sehingga komunikasi dapat terjalin secara wajar dan tidak artificial. Air muka yang manis tanpa terlalu banyak berbasa-basi juga perlu diperhatikan dalam mengadakan rapport.
Dalam mencari keterangan, pewawancara janganlah mengalihakan perhatiannya terhadap dan terlalu asyik dengan kertas dan pensilnya saja. Pemendekan kata-kata dan merangkainya kembali kemudian, dapat dibenarkan dalam mencatat wawancara.
Beberapa sikap pewawancara dalam bertanya harus diperhatikan. Sikap-sikap tersebut adalah sebagai berikut:
a. Netral. Jangan memberikan reaksi terhadap jaawaban, baik denagn kata-kata atau dengan perbuatan atau dengan gerak-gerik. Baik tidak baik, senang tidak senang, setuju tidak setuju jangan sekali-kali diperlihatkan oleh pewawancara dalam wawancara. Janagan memberikan sugesti.
b. Adil. Dalam wawancara, semua responden harus dianggap sama, jangan memihak pada sebagian responden sehingga responden merasa aman dalam memberikan keterangannya.
c. Ramah. Tunjukkan keramahan yang wajar, tidak dibuat-buat, segar, bermuka manis.


E. Pedoman Wawancara
Kesan pertama dari penampilan pewawancara, yang pertama diucapkan dan dilakukan pewawancara, sangatlah untuk merangsang sikap kerja sama dari pihak responden. Berdasarka pengalaman Michigan Survey Research Center diketahui, bahwa responden lebih mengingat pewawancara dan cara dia mewawancarai daripada isi wawancara. Karena itu, segala cara untuk mendapatkan sambutan simpatik dan sikap kerjasama dari responden sebaiknya dipahami dan dilatih dengan seksama. Dalam melaksanakan tugas wawancara, pewawancara harus selalu sadar bahwa dialah yang membutuhkan dan bukan sebaliknya (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989).
Pedoman untuk mencapai tujuan wawancar dengan baik adalah:
a. berpakaian sederhana, rapi, tanpa perhiasan
b. sikap rendah hati
c. sikap hormat kepada responden
d. ramah dalam sikap dan ucapan (tetapi efisien, jangan terlalu banyak berbasa-basi), dan disertai dengan air muka yang cerah
e. sikap yang penuh pengertian terhadap responden dan netral
f. bersikap seolah-olah tiap responden yang kita hadapi selalu ramah dan menarik
g. sanggup menjadi pendengar yang baik

Penggunaan metode wawancara biasanya diikuti dengan pedoman untuk melaksanakan wawancara itu. Pedoman tersebut berisi butir-butir yang akan ditanyakan, cara pencatatan dan pemberian skor (bila diperlukan) atas jawaban responden. Selain itu, peralatan dan kondisi yang dibutuhkan untuk pelaksanaan wawancara juga perlu dispesifikasikan pada pedoman wawancara. Pada pedoman itu perlu juga dikemukakan persyaratan atau karakteristik subjek yang akan diwawancarai (Lerbin, 2007).
Mewawancarai hampir sama dengan bermain piano – skill yang cukup bisa diperoleh tanpa membutuhkan latihan formal. Tapi ada dunia yang berbeda dalam keterampilan, dalam hal teknik, dan dalam kemahiran antara seorang amatir yang bermain “dengan menggunakan telinga” dan seorang pianis konser yang ahli. Pemain yang belajar sendiri secara mekanis pada keyboardnya memainkan melodi-melodi tertentu yang melekat pada ingatannya; sang seniman, yang dengan ahli menggabungkan penguasaan teori musik, latihan yang tak terhitung lamanya, dan interpretasi pribadi, menciptakan suatu efek yang secara teknik pas, menyenangkan di telinga para pendengar, dan mengekspresikan perasaan paling mendalam dari sang pianis (Charles Stewart dan W. B. Cash, 2003).
Wawancara biasanya adalah suatu pertukaran lisan yang saling berhadapan langsung. Orang-orang yang terlibat berada di hadapan yang lainnya dan melisankan pesan-pesan yang ingin mereka sampaikan dengan suara keras. Ini memberikan wawancara sejumlah keuntungan dibandingkan dengan kuesioner, karena (a) para responden memiliki kemungkinan lebih besar untuk berbicara lebih banyak dibandingkan dengan menulis, (b) orang-orang menjadi lebih termotivasi dengan kehadiran orang lain, dan (c) pertukaran-pertukaran lisan menawarkan lebih banyak peluang-peluang langsung untuk menyelidik, mengklarifikasi jawaban-jawaban dan memberikan feedback.
Proses-proses yang berhubungan dengan melaksanakan wawancara adalah mensetting suasananya, mendengarkan, menyelidiki, memotivasi, dan mengendalikan wawancara. Hal-hal ini melibatkan suatu teknik komunikasi tingkat tinggi, dan panduan-panduan yang relevan.
Komunikasi dua arah umumnya lebih efektif dari komunikasi satu arah. Komunikasi satu arah dicirikan oleh pesan-pesan yang pada dasarnya berjalan ke satu arah saja, misalnya, dari pewawancara ke yang diwawancarai. Pengirimnya tidak begitu tertarik pada respon-respon, pertanyaan-pertanyaan, komentar-komentar, atau reaksi-reaksi dari si penerima. Sebagai akibatnya, dalam sebuah situasi satu arah si pewawancara tidak merasa bahwa sudah terjadi saling pengertian atau bahwa pesannya sudah efektif karena tidak ada umpan balik (feedback). (Banyak orang yang merasa nyaman dengan situasi satu arah karena hal ini efisien dalam hal menghemat waktu dan mereka tidak harus merasa khawatir tentang reaksi mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar).
Hindari keliru mengasumsikan objek sudah tahu dengan pasti hasil-hasil yang mereka inginkan, si penerima pasti juga tahu. Sehingga, mereka seringkali mengabaikan untuk memberikan rincian-rincian penjelas. (Robert Kahn dan Charles Channel, 2003)

F. Wawancara Kelompok Fokus
Bila pada suatu wawancara hanya terdapat satu pewawancara dan satu subjek, maka wawancaranya dinamakan wawancara mendalam individual. Bila pada suatu wawancara ada satu pewawancara dan beberapa subjek, maka wawancaranya disebut wawancara kelompok fokus. Subjek pada wawancara kelompok fokus itu biasanya terdiri atas 8 sampai dengan 12 orang. Bila pada wawancara itu ada satu pewawancara dan 4 sampai dengan 5 subjek, wawancaranya disebut wawancara kelompok kecil.
Pada wawancara kelompok fokus, pewawancara sebenarnya lebih cenderung berfungsi sebagai moderator yang mengatur dan memperlancar arus pembicaraan. Wawancara itu biasanya berlangsung antara 1 samapai dengan 3 jam dalam suatu ruangan yang berlatar formal dan santai.
Para subjek yang disertakan dalam kalompok fokus adalah para subjek yang bersifat homogen. Untuk itu, para subjek harus telah diseleksi sebelum wawancara sehingga dapat diperoleh para subjek yang homogen. (Lerbin R. Aritonang, 2007)
Proses wawancara pada suatu kelompok fokus biasanya dicatat dengan menggunakan alat bantu, seperti video. Kemudian hasil rekaman video itulah yang akan dianalisis guna menjawab permasalahan penelitian. Teknik-teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif, seperti pada analisis isi. Pewawancara pada kelompok fokus harus memiliki ketrampilan yang tinggi untuk memperlancar jalannya diskusi dan untuk mengungkap hal-hal yang bersifat diagnostik.
Tujuan utama dari wawancara ini adalah untuk memperoleh pangetahuan yang mendalam dengan mendengar sekelompok orang dari pasar sasaran yang tepat untuk membicarakan isu yang diamati dengan peneliti. (Malhotra, 1993)
Wawancara itu difokuskan pada penghayatan pribadi seseorang dalam menghadapi suatu situasi yang khusus, seperti dalam menghadapi pimpinan rapat yang otoriter. Struktur situasi pada wawancara itu sendiri harus telah diselidiki sebelumnya oleh peneliti sehingga dapat menemukan unsur-unsur serta pola-polanya yang penting. Berdasarkan hasil tersebut kemudian dibuat pedoman wawancara. (Hadi, 1993)
Orang-orang dalam sebuah wawancara berada dalam sebuah hubungan interpersonal. Meskipun demikian, variasi-variasi tertentu dari wawancara bisa mencakup orang-orang dalam kelompok-kelompok. Umumnya, peran pewawancara akan dikembangkan dalam hal tiga fungsi utamanya: (1) merencanakan strategi-strategi, (2) melaksanakan atau mengatur wawancara, dan (3) mengukur hasil-hasilnya.
Proses-proses yang berhubungan dengan melaksanakan wawancara adalah mensetting suasananya, mendengarkan, menyelidiki, memotivasi, dan mengendalikan wawancara. Hal-hal ini melibatkan suatu teknik komunikasi tingkat tinggi, dan panduan-panduan yang relevan.
Orang-orang melakukan wawancara kelompok fokus biasanya untuk tujuan-tujuan yang berhubungan dengan tugas; mereka punya sesuatu yang ingin mereka capai, yakni, menyeleksi seseorang untuk suatu pekerjaan, mengumpulkan data penelitian, menerima pasien, atau menulis kisah berita. Tujuan terkait tugas inilah yang membedakan wawancara dari sekedar perbincangan biasa. Suatu percakapan bisa sampai kemana saja; akan tetapi, wawancara harus difokuskan pada kandungan isi yang sesuai dengan tujuan utama. (Nazir, 1989).

G. Wawancara Mendalam
Sering jawaban responden kurang memuaskan karena masih bersifat terlalu umum, dan kurang khusus, misalnya: “Anak dapat membantu orang tua”. Membantu dalam hal apa? Di sini terdapat beberapa kemungkinan, kaena iu perlu ditanyakan lebih lanjut. Inilah yang disebut menggali informasi lebih dalam atau probing, sehingga diperoleh jawaban yang labih khusus dan tepat.
Apabila jawaban responden kurang meyakinkan, maka perlu ditanyakan keterangan lebih lanjut, dan kalimat yang disampaikan pun harus bersifat netral.
Probing ini termasuk salah satu bagian yang paling sulit dalam wawancara. Pengawas sebaiknya teliti dalam menilai jawaban-jawaban hasil probing. Sangat baik dianjurkan kepada pewawancara agar selalu menuliskan kalimat pertanyaan probing, di samping jawaban responden. Dengan demikian pengawas dapat mengetahui apakah cara bertanya sudah benar, tidak tendensius. (Masri Singarimbun, 1989)
Wawancara mendalam merupakan wawancara pribadi, langsung, dan tidak terstruktur dengan seorang subjek yang diselidiki oelh pewawancara yang sangat terampil untuk menemukan latar belakang motivasi, kayakinan, sikap, dan perasaan subjek terhadap satu topik. Wawancara ini biasanya berlangsung antara 30menit sampai dengan lebih dari satu jam.
Wawancara mendalam sering digunakan untuk mengungkap hal-hal yang tersembunyi, yang sulit untuk diungkap dengan metode atau teknik pengukuran lainnya. Untuk itu, pewawancaranya harus memiliki ketrampilan yang tinggi untuk mengungkapnya. Selain masalah pewawancara, penentuan xubjek yang akan diwawancara seringkali juga menjadi masalah. Wawancara ini biasanya digunakan pada penelitian eksploratif. (Lerbin R. Aritonang, 2007)
Wawancara mendalam adalah suatu bentuk yang khusus dari komunikasi oral dan berhadapan muka dalam suatu hubungan interpersonal yang dimasuki untuk sebuah tujuan tertentu yang diasosiasikan dengan pokok bahasan tertentu. Keefektifannya bisa dinilai dalam hal tujuan wawancara, teknik-teknik yang digunakan, kerangka waktunya, sudut pandang orang yang melakukan evaluasi, dan reliabilitas dan validitas informasi yang diperoleh.
Aspek-aspek wawancara mendalam yang dapat direncanakan adalah tujuan-tujuan, pertanyaan-pertanyaan, setting, dan reaksi terhadap permasalahan-permasalahan khusus. Perencanaan semacam itu bisa memberikan kesiapan bagi si pewawancara untuk semua kemungkinan-kemungkinan yang mungkin muncul dalam proses wawancara. (Robert Kahn dan Charles Channel, 2003)
Wawancara-wawancara mendalam terjadi karena suatu tujuan, dan memfokuskan pada jenis-jenis informasi tertentu. Salah satu karakteristik dari pewawancara yang baik adalah kemampuan untuk mengendalikan interaksi sehingga tujuan wawancara tercapai. Hal ini berarti bahwa tidak semua komentar atau respon relevan. Oleh karenanya, anda mungkin perlu menetapkan batasan-batasan mengenai jenis respon yang tepat.
Karena feedback adalah dimensi wawancara mendalam yang penting, pewawancara perlu melakukan upaya yang sangat penuh kesadaran dan terencana untuk mendapatkan feedback apabila tidak diberikan secara sukarela. Saran-saran berikut adalah teknik-teknik yang sangat bermanfaat guna menghasilkan feedback: (1) meminta feedback; (2) mendengarkan ketika diberikan; (3) melatih orang-orang agar merasa anda mau menerima feedback; dan (4) mempertahankan suasana yang memungkinkan adanya feedback.
Semua wawancara mendalam tersusun atas dua dimensi penting yang bisa dianalisa keefektifannya: kandungan isi dan hubungan. Yang cenderung akan lebih difokuskan adalah isi. Hendaknya melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi atau untuk memberikan informasi. Akan tetapi, menganggap bahwa hubungan antar pewawancara dan orang yang diwawancarai sama pentingnya dalam kebanyakan situasi. Bahkan, sifat-dasar hubungan tersebut bisa menentukan apakah informasi tertentu telah disampaikan selama wawancara atau tidak. (Dr. Nurul Murtadho, 1992).
H. Sumber Kekeliruan Pelaporan Hasil Wawancara
Perolehan data dengan memanfaatkan manusia, memiliki beberapa kelemahan sehingga hasil pengukuran yang diperoleh mengandung kekeliruan. Pada konteks wawancara ada beberapa hal yang menjadi sumber kekeliruan pengukurannya, baik dari pewawancara maupun dari orang yang diwawancarai, yaitu:
 ingatan
 hal yang seharusnya dilaporkan dilewatkan saja dan todak dilaporkan
 melebih-lebihkan atau telah meramu jawabannya
 mengganti hal yang tidak dapat diingat
 tidak mampu mereproduksi kejadian menurut waktu atau hubungan antarfakta seperti apa adanya. (Lerbin R. Aritonang, 2007)
Apabila responden menjawab ”tidak tahu”, maka pewawancara perlu berhati-hati. Sebaiknya pewawancara tidak lekas-lekas meninggalkan pertanyaan itu dan pindah ke pertanyaan lain. Jawaban ”tidak tahu” perlu mendapat perhatian, sebab jawaban itu dapat mengandung bermacam-macam arti, diantaranya:
a. responden tidak begitu mengerti pertanyaan pewawancara, sehingga untuk menghindari menjawab ”tidak mengerti” maka menjawab ”tidak tahu”
b. responden sebenarnya sedang berpikir, tapi karena merasa kurang tentram kalau membiarkan pewawancara menunggu lama, maka dia menjawab ”tidak tahu”
c. sering karena responden tidak ingin diketahui pikiran yang sesungguhnya karena dianggap terlalu pribadi, maka dia menjawab ”tidak tahu”. Dapat juga terjadi karena responden ragu-ragu atau takut mengutarakan pendapatnya responden memang benar-benar tidak tahu. Tentu saja itu mencerminkan jawaban sebenarnya. Namun, adalah tugas pewawancara untuk mengamati responden dengan cermat. Benarkah responden tidak tahu, atau adakah hal-hal lain di balik pikirannya. Dapat pula pewawancara mengulang pertanyaan sekali lagi atau menambah pertanyaan agar lebih yakin akan jawaban responden. (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989)
Sebagai contoh, Herbert Hyman melaporkan sejumlah penelitian yang mempertanyakan reliabilitas data. Dalam sebuah penelitian, pewawancara kulit hitam dan kulit putih mensurvey sebuah sampel orang-orang kulit hitam dan mendapatkan informasi yang berbeda. Si pewawancara berkulit hitam melaporkan lebih banyak kebencian mengenai diskriminasi dibandingkan si peneliti yang berkulit putih. Kenapa bisa? Kita tidak tahu pasti. Apakah orang-orang kulit hitam tersebut dengan sengaja menahan informasi, atau apakah orang secara perseptual telah dibutakan atau bias? Kita tidak tahu. Akan tetapi, fakta bahwa kedua kelompok tersebut berbeda membuat kita mempertanyakan reliabilitas data. Ada banyak penelitian seperti milik Hyman. Demikian pula, ketika dua orang petugas perekrutan memiliki penilaian yang jauh berbeda mengenai seorang kandidat yang sama, maka reliabilitasnya rendah. Karena jawaban-jawaban interviewee tidak bisa dikendalikan sepenuhnya.
Salah satu penyebab terbesar dari permasalahan-permasalahan komunikasi adalah bahwa kita menganggap bahwa orang-orang sama seperti diri kita sendiri dan bukannya menyesuaikan diri dengan fakta bahwa mereka mungkin berbeda dalam beberapa hal. Kadangkala harapan untuk mendapatkan feedback tidak pernah diartikulasikan, dan orang-orangpun tidak memberikannya. Sebagai contoh, dulu ada seorang interviewee yang mendengarkan beberapa instruksi dari seorang interviewer. Komentarnya cuma, “Ya, pak”. Inilah salah satu penyebab sumber kekeliruan pelaporan hasil wawancara.
I. Keunggulan dan Kelemahan Wawancara
Kebaikan metode wawancara terletak pada keluwesannya. Artinya, wawancara dapat dengan mudah disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada saat wawancara berlangsung. Selain itu, melalui wawancara dapat juga diungkap hal-hal yang tersembunyi yang mungkin tidak dapat diungkap dengan metode lain, asalkan pewawancaranya memiliki ketrampilan yang dibutuhkan.
Kelemahan metode wawancara adalah dari segi banyaknya waktu, tenaga, dan biaya yang dibutuhkan. Selain itu, pewawancara yang memiliki ketrampilan yang tinggi tidak mudah diperoleh, selain mahal, juga sulit atau lama untuk melatihnya (Lerbin R. Aritonang, 2007).
Beberapa keuntungan metode wawancara ditinjau dari segi operasional pekerjaan lapangan atau field work (Joseph R. Tarigan, 1995), antara lain:
a. mengumpulkan data melalui wawancara perorangan biasanya persentase hasil yang diperoleh lebih tinggi karena hampir semua orang dapat diajak bekerja sama
b. keterangan yang diperoleh melalui metode ini lebih dijamin kebenarannya daripada metode lain, karena petugas pencacah dapat menerangkan daftar/kuisioner tersebut kepada responden sehingga responden memberikan jawaban yang teliti. Apabila responden dengan sengaja memalsukan jawabannya, petugas pencacah akan mencoba menyadarkannya dengan menggunakan pendekatan khusus untuk mendapatkan jawaban yang betul
c. petugas pencacah dapat mengumpulkan keterangan yang lengkap tentang karakteristik pribadi responden dan sekitarnya dapat menasirkan dan mengevaluasi hasil-hasil yang mewakili dari unit survey
d. dengan mempertunjukkan secara visual, responden dapat menangkap dan mengerti apa yang dimaksud
e. kunjungan ulang (re-visit) untuk melengkapi keterangan yang kurang pada daftar (kuisioner) atau membetulkan kasalahan-kasalahan, biasanya dapat dilakukan tanpa mengecewakan responden
f. petugas pencacah mungkin berhasil mendapatkan jawaban yang lebih spontan daripada kalau kuisioner tersebut dikirim lewat pos atau ditinggalkan untuk diisi oleh responden
Walaupun metode wawancara memiliki berbagai keuntungan dalam pelaksanaan lapangan, tetapi metode ini tidak lepas dari kelemahan-kelemahan, antara lain:
a. pengaruh pribadi petugas pencacah dalam pelaksanaan wawancara dapat menghambat jawaban responden. Contohnya: apabila pencacah menunjukkan sikap tertentu (memaksakan pendapat), maka tanpa disadarinya akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang memberikan konfirmasi atau menguatkan pandangannya sendiri. Bagi petugas pencacah yang memiliki sikap wawancara seperti ini, dianjurkan untuk menanyakan pertanyaan sesuai dengan kata-kata yang terdapat dalam kuisioner.
b. Jika pencacah kenal dengan responden, maka mungkin responden akan keberatan untuk memberikan keterangan-keterangan yang bersifat pribadi. Responden mungkin menganggap hal ini sebagai mencampuri urusan pribadi dan menghilangkan sifat rahasia survey ini.
Beberapa keuntungan melaksanakan pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara adalah (Suparmoko, 1992):
a. pelaksanaan wawancara mungkin memakan waktu yang lebih lama sehingga memungkinkan responden menjadi lebih mengerti akan topik yang ditanyakan, sehingga hubungannya dengan materi yang relevan lebih memungkinkan.
b. Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya sangat sensitif untuk responden dapat ditanyakan secara taktis oleh petugas pencacah sehingga tidak menyinggung perasaan responden. Dengan melihat reaksi responden, petugas pencacah dapat mengalihkan permasalahan kalau perlu memberikan penjelasan-penjelasan mengenai persoalan survey ataupun komentar-komentar lain unuk memancing responden memberikan jawaban. Dengan kata lain, situasi yang agak rumit biasanya dapat diatasi lebih baik dan efektif dengan persoalan metode wawancara dibandingkan dengan metode lain.
c. Bahasa survey dapat disesuaikan dengan kemampuan atau tingkat pendidikan responden. Oleh karena itu lebih mudah untuk emnghindarkan salah pengertian atau salah pengarahan dari pertanyaan yang ada. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa dalam survey tertentu adalah penting untuk petugas pencacah supaya tidak merubah kata-kata atau urutan pertanyaan yang ada, supaya mendapatkan jawaban yang bisa dipercaya. Dalam hal ini kepada petugas pencacah akan diberitahu selama mereka mengikuti latihan.
Kelemahan-kelemahan yang terdapat pada penggunaan metode wawancara antara lain:
a. jika responden yang akan dikunjungi menyebar di daerah yang sangat luas, maka biaya perjalanan dan waktu yang dibutuhkan untuk mengunjungi responden tidak sedikit. Hal ini mungkin membuat penggunaan metode wawancara menjadi tidak ekonomis dan tidak efisien.
b. Dalam memilih, melatih, dan membimbing petugas pencacah lapangan diperlukan suatu organisasi, sehingga dalam pelaksanaannya lebih rumit dibandingkan dengan metode lain.
c. Kesempatan dan waktu wawancara dengan responden terbatas artinya mungkin hanya dapat dilakukan malam hari saja atau hanya satu atau dua jam saja pada sore hari, sehingga membutuhkan banyak petugas agar waktu yang ditentukan dapat dicapai.
DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, Lerbin R. (2007), Riset Pemasaran, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nazir, Mohammad (2005), Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Singarimbun, Masri (1989), Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES.
Tarigan, Joseph R. (1995), Metode Pengumpulan Data, edisi pertama, Yogyakarta: BPFE.
www.google.co.id
www.yahoo.com